Kamis, 24 Maret 2011

Futur itu salah siapa?


Sudah larut sebenarnya, tapi biarlah ini dalam rangka kepuasan batin. Bisa jadi ini curcol (baca: curhat colongan) tapi ini juga merupakan satu pelajaran, bermula dari segudang aktivitas kami sebagai aktivis dakwah. Hari berganti hari, berganti bulan, tahun-pun berlalu, tak pernah kami menyesal atau merasa terpaksa melakukan semua aktivitas ini. Tetapi kami juga manusia, kami adalah kumpulan manusia, bukan malaikat, itu kami sadari betul justru ketika sesuatu yang salah dan kurang tepat telah terjadi pada salah seorang diantara kami.

Ada yang dulunya aktivis kawakan, namanya si pertama, dengan ciri fisik dan profil diri yang sangat dominan, ia menjadi sangat terkenal dengan kesalehan pribadi dan sosialnya. Gerak langkahnya menjadi teladan bagi semua. Tapi angin berhembus, tidak ada yang istimewa dengan angin itu, karena seperti biasa angin itu pasti datang setiap waktu. Diminta ataupun tidak. Yang membuat angin itu menjadi berita adalah, bahwa angin itu ternyata berhasil membuat si pertama, yaitu salah satu dari kami itu limbung dan terjatuh, kemudian terbawa pergi. Tidak ada yang tahu sebabnya saat itu semua terjadi dengan mendadaknya, membuat semua tersedak tidak percaya, bahkan menangisinya memohon untuk kembali, tapi terlambat. Usut punya usut, dia memang “kuat” tapi tidak ada yang sadar bahwa ia juga manusia, butuh tempat bicara, butuh saran dan penguatan dari saudara-saudaranya. Tapi ya sudahlah, dia telah pergi, karena kepedulian kami datangnya terlambat.

Satu lagi kisah, namanya si kedua, dia seseorang yang mungkin belum sehebat si pertama. Tapi dia punya tunas militansi yang baik, dia beraktualisasi dengan baik dalam jamaah dakwah. Dia sebenarnya tipe jundi yang penurut tapi juga kritis. Celaka tiga belas, kekritisannya tidak bisa diterima seniornya. Dia dianggap “sesat”, oh mungkin itu terlalu kasar, begini, dia hanya mencoba berpikir di luar kotak, dia hanya menjadi BERBEDA. Tapi itu tidak bisa diterima. Pada akhirnya si kedua merasa termarjinalkan di negeri sendiri, padahal di luar sana ia sangat cemerlang dan begitu dibutuhkan banyak orang (berbicara begini saya kira wajar saja, orang Indonesia kan memang hoby “membuang” bangsanya sendiri, akhirnya mereka malah berkibar di luar sana).

Si kedua merasa tidak berguna dan tidak dibutuhkan. Tapi dia tetap disini, itulah hebatnya. Hanya saja saya rasakan dengan pasti, dia agak berkurang semangatnya, mulai terdengar bisikan bisikan apatisnya, mulai banyak meragukan. Rabb jagalah aku, ia dan ia ia yang lain. Do’a itu terus saja saya lantunkan. Dan saya katakan pada anda, saudara2nya ada andil disini. Bukan perkara dia harus diberi posisi atau tidak, atau kalau ada yang dengan kejam bicara dia ingin posisi, tegas saya tampik TIDAK. Dia tulus, sungguh... saya bisa melihatnya, saya merasakannya.

Lalu inilah si ketiga. saya ceritakan kisah si ketiga ini sedari awal, dia adalah kader yang masuk pada kategori pelarian 3 K (kecewe, kecowo dan atau kecewa). Sejak semula saya katakan kepada saudara2 yang lain, jangan reaksioner, karena saya rasa dia butuh waktu. Waktu untuk merenungi salah dia, waktu untuk menimbang-nimbang kembali, waktu untuk didengar. Bukan dicerca, dihujat, dikata-katain “FUTUR ENTE”. Di judge didepan banyak orang, dipergokin saat bersalah, disindirin saat kultum. Saya pernah menjadi teman curhatnya disaat2 terberatnya itu. Saya sampai menangis memohon dia memafkan perilaku saudara2nya yang sebenarnya cinta pada dia, hanya cara mengungkapkannya kurang tepat. Saya sampai kehabisan kata-kata, kehabisan nasehat, kehabisan perasaan, karena nyatanya hari2 terberatnya juga menjadi hari2 terberat saya saat harus mendengar dengan kuping saya sendiri bahwa ia tidak lagi bisa percaya pada ikhwah, ia tidak merasa aman disini. Dia tidak menemukan ukhuwah itu. Yang dulu sempat ia rasakan. Saya keluarkan jurus putar balik, “oleh karenanya ukhti, tidak bisa menjeneralisir begitu”, ia tak bergeming. Ia lalu benar2 melangkah pergi. Saya sendirian dipojok hati, terduduk lemah dengan lampu yang suram, menangisi kepergiannya, bahkan memanggilnya lagi sudah tak berdaya. Saya katakan pada anda, justru dialah yang membawa saya pada tarbiyah ini. I'm really miss her, sungguh, masih perih hati saya mengingat malam-malam itu.

Tidak ada cerita tentang ke empat dan ke lima dan seterusnya yang hendak saya tuliskan, karena saya tak ingin sakit lagi mengingat-ingatnya. Saya hanya mau bilang jangan-jangan mereka futur karena kita. Mari renungkan kembali makna syuro dan kebebasan berpendapat itu lagi. Umar bin Khatab saja memfasilitasi anak kecil bernama Ibnu Abbas dengan pemikirannya yang paling berbeda justru di forum ahlu badar. Lalu ada apa dengan kita?

Atau bagaimana dengan ide menelusuri lagi materi2 tentang makna ukhuwah itu. Memberikan hati kita yang hangat agar nyaman buat saudara2 kita bersandar saat lelahnya, bahkan disaat kita lelah pula. ini tentang menyadari sisi kemanusiaan sesama aktivis dakwah. Mereka manusia juga yang punya hati, ingin dicinta, ingin disanjung, ingin dihargai, ingin didengarkan, ingin dimengerti untuk beberapa waktu saat mereka limbung.

Sampailah saya pada ujung kebisingan ini, kitalah jamaah manusia. Tetapi kita tidak boleh terlalu banyak salah. Karena kita aktivis dakwah, yang seharusnya lebih bisa menjaga “kesucian2” yang banyak itu. Ini bising. Karena telinga saya sakkit! demi mendengar kisah2 ke delapan dan kesembilan. Tolong jangan lagi ada kesepuluh, yang juga lalu kita namai dia “SI FUTUR”. Padahal (sekali lagi) JANGAN-JANGAN, DIA FUTUR KARENA KITA. Naudzubillah....

Di sendunya malam :’(
terbayang kembali
Wajah2 saudara terkasih seperjuangan
Yang sudah pergi, yang ingin pergi,
Yang berpikir akan pergi
dan yang masih terus bertahan.
Stay here with me, I love u fillah...

4 komentar:

  1. Sungguh... saya tak tau harus berkomentar apalagi, sesak rasanya nafas saya ketika membaca tulisan ini.. satu hal yang sampai detik ini dan insya Alloh sampai dunia sudah habis masa tenggangnya untuk saya kontrak..
    Ya Robb, Demi Kesucian Asma-MU, hamba Mohon, Kami mohon dengan sangat sangat dan sangat. pertahankanlah kami yang tersisa ini untuk tetap istiqomah melanjutkan perjuangan di jalanMu yang memang tak mudah kami bisa menjalaninya. Namun dengan jalan ini, niscaya yang akan menjadikan jalan kemudahan bagi kehidupan kami yang abadi. Kembalikanlah saudara-saudara kami dan kepercayaannya, untuk kembali bergandeng tangan bersama kami menyeru DinMu yang Haq dalam jalan ini, Ya Robb, ampuni hamba, kami yang mungkin menjadi jalan kefuturan bagi mereka, , ampuni kami ya Robb.. ampuni... sungguh Engkau yang Maha Membolak-bolakkan hati, dan Engkau yang mengikatkan hati-hati ini untuk bersatu dalam sebuah ikatan yang terjalin karenaMU dalam bingkai ukhuwah, maka satukanlah hati-hati kami yang berserakan..
    Engkau yang maha Pengampun dan Engkaulah sebaik-baik Dzat yang menepati janji, maka kabulkanlah doa kami ya Robb.. amin..

    BalasHapus
  2. terimakasih, semoga Allah membalas doa kita. amin .....

    BalasHapus
  3. mbak..mau pulangh mojokerto kah?:-)

    BalasHapus
  4. hemmmm, meybi yes, meybi no nduk... liat situasi dan siniasi. jane berat ninggalin pak mbok ku sing engkrik2en, tapiii banyak PR di jember, tapiii yo pengen muleh. nah looo, wes nek bar wisuda ae istikhoroh :)

    BalasHapus