Kamis, 09 Juni 2011

ini memang masalah mental, bung! :D

Mental krupuk, mental tempe, mental baja. Lagi2 ini masalah mental

Mari kita jujur, seberapa baik kita mengenali diri? Juga mendefinisikan sebenarnya kita mempunyai mental apa? Krupuk? tempe? Tahu? Yang mana itu enak sekali dimakan hangat2 :D. Oh! Atau mental baja?. Lho, jangan keburu berburuk sangka. Saya memang akan menulis tentang mental, tapi tidak akan memberikan penilaian mental pribadi2, tetapi mental sosial, nah lo apa lagi ini?? heheh, biarkan saya mendefinisikannya sendiri yah. Sebentar saja saya browsing kamus online, inilah arti mental: bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga. Jika kemudian saya memilih untuk menggabungkannya dengan kata sosial, maka kira-kira maknanya begini, suatu keadaan kesamaan watak atau mindset pada suatu kelompok sosial tertentu. Hmm.. yah begitulah kira-kira, semoga dapat dipahami. Piss.

Akhir-akhir ini seakan-akan mata saya dibuka lebar-lebar untuk kembali menyadari bahwa memang banyak yang perlu kita benahi untuk perbaikan yang lama kita nanti-nanti kedatangannya. Perbaikan apa? Banyak, misalnya perbaikan dibidang politik, perbaikan di bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, keamanan, pendidikan dan lain sebagainya yang mari kita definisikan sebagai kebutuhan berkehidupan.

Saya pernah melakukan perjalanan Surabaya-Jember menggunakan patas malam. Tidak ada yang istimewa termasuk adanya tiga cowo cakep (hehee) berwajah asia banget yang ternyata malah lebih fasih berbahasa Inggris. Kebetulan saya duduk disebelah salah satunya. Namanya cing we (apa gitu :D). Betul perkiraan saya sebelumnya, tiga pemuda ini adalah pelancong dari luar negeri (Singapura) yang kepincut dengan ketenaran Bromo, kalo mereka bukan turis yang kaya banget (nah lo turis juga ada yang miskin loh), mereka tidak sewa guide tapi lebih pilih perjalanan sendiri, itung-itung adventure begitu kata kenalan saya turis -Irlandia- yang lain saat saya di atas kapal fery nyebrang ke Bali beberapa tahun silam. dalam perjalanan itu saya mencoba menjelaskan rute yang biasa ditempuh turis luar negeri jika ingin ke Bromo. Tidak ada yang istimewa pula dengan obrolan malam itu kecuali satu sikap mereka yang saya amati dan bikin saya kagum ^^d. Mereka tetap menggenggam sampah plastik bekas makanannya sampai turun di terminal probolinggo. Anda tau? Disisi lain saya melihat seorang lelaki asli Indonesia buang sampah bungkus tahu sumedangnya di lantai bis begitu saja setelah melahap potongan tahu terakhirnya :D. Ada dua analisis, pertama, mungkin karena mereka tidak tahu bahwa di Indonesia “boleh” membuang sampah sembarangan. Kedua; itu sudah jadi mental mereka, secara Singapura adalah negara maju ghella ghetto (anak ghaol mode.on) ya ga?? Hehe. Ini masalah mental, saya yakin itu.

Pengalaman kedua, mata saya kembali dibuka tentang mentalitas sosial ketika saya berada dalam forum Konferensi Pekerja Anak: Advokasi Kebijakan untuk Mendukung Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) di Kabupaten Jember. Saya semeja dan sekelompok dengan si Mufti ahmad, pejuang Serikat Buruh Migran Indonesia asal jenggawah. Pemuda berjenggot ini membuka percakapan dengan cerita tentang aktivitas dia di LSM-nya. Saat itu kami sambil makan siang di resto hotel tempat kami konferensi. Seperti biasa, saya selalu takjub dengan anak-anak muda yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanfaatan orang lain, semacam teman saya ini juga teman-teman organisasi kepemudaan lain yang saya ikuti (jadi kamu ga perlu geer ya mufti :D). Tibalah percakapan kami pada permasalahan negara (ceile syiape kite ngomongin negara :D) tapi percakapan dengan tema2 seperti ini saya pkir penting sekali dilakukan oleh para pemuda, supaya tersedia stok pemikir di negara ini untuk masa depan. Kami terus saja saling bertukar pendapat tentang sistem di negara kami tercinta ini. Dulu saat sebelum reformasi cerita tentang korupsi dan memperkaya diri sendiri adalah hal yang tidak mencuat ke muka umum tetapi ia sudah menjadi semacam “kebiasaan”, seperti kata yang baru saya temukan ini juga bisa dinamai mental sosial, hal2 semacam ini bahkan seperti menjadi sistem yang berlaku “resmi” dalam setiap urusan bernegara kita, mengurus KTP harus membawa amplop lebih, minta tandatangan harus membawa parcel, menangin tender harus bawa hadiah (baca:gratifikasi) delele. Nah, ketika reformasi digulirkan, ada secercah harapan, saya yang saat itu kelas 5 SD tidak terlalu ngeh dengan apa yang terjadi di Indonesia, mengapa mas-mas mahasiswa yang gagah dan keren-keren itu menuntut reformasi. Saya hanya tau saat itu berita2 di SCTV (satu2nya TV swasta yg aktif menayangkan berita-berita reformasi saat itu) mengatakan bahwa jika reformasi bergulir, mbah harto turun maka Indonesia menjadi lebih baik. Itu saja.

Kini saya sudah besar, saya jadi tahu semua melalui keterangan dosen-dosen saya juga kakak-kakak saya di organisasi, juga karena membaca buku-buku. Awalnya saya benar-benar berpikir bahwa reformasi adalah gagasan yang sangat baik untuk perbaikan bangsa ini. Saat itu pemikiran saya hanya sampai situ. Saya lupa bahwa pelaku reformasi adalah manusia juga, ehh ketemu sama si mufti yang bercerita banyak tentang betapa susahnya birokrasi, juga beberapa kejadian yang saya alami sendiri (berhubungan dengan sistem tentu saja) membuat saya berpikir bahwa masalah negara ini lebih kompleks dari sekedar mengganti sistem. Korupsi masih menggejala bahkan dengan jumlah yang spektakuler, hukum menjadi ajang jual beli kasus, nampaknya guyonan masa kecil saya menjadi kenyataan “polisi menangkap, jaksa menuntut, hakim membebaskan” (in memoriam hakim “S”) :D. Emm... kasus orang hilang juga ternyata masih terjadi. Bahkan sekarang terjadi begitu banyak penembakan dan pembunuhan disiarkan di tivi alasannya mereka diduga sebagai teroris, ini mah bukan “petrus” lagi, karena emang ga ada misterius2nya :D. Jadi setelah reformasi bergulir hal2 yang banyak terjadi di rejim orba juga masih terjadi loh! :o. Betul sih kata teman saya itu, Ini... memang masalah mental bung :D.

Aah... jauh2 ngomongin reformasi. Kemarin saat naik untuk yang kedua kalinya ke dataran tinggi Ijen, saya kembali berpapasan dengan bule (ga tau kenapa saya suka banget kalo ketemu mereka, biar bahasa Inggris saya belepotan, saya suka ngajak ngobrol mereka :D). Ada satu yang mendahului langkah saya, lalu saya sapa “tired ya mister?”, “yeah tired” jawab dia sambil tersenyum, selanjutnya saya tanya dia yang ternyata berasal dari perancis, kemudian melanjutkan perjalanannya sambil riang dan berlari!, di sisi lain saya tengok ke belakang, rombongan saya yang isinya mahasiswa manis-manis dan masih muda itu, pada terseok ngos-ngosan ta berdaya :D. Tiba di puncak kembali rombongan kami dilewati rombongan turis dari Inggris, salah satunya kembali saya sapa, “woaa, kalian ga capek mister?” (saya takjub karena mereka turis tua2, terlihat dari keriput kulit dan tongkat yang dibawa) akhirnya dia menjawab “yeah ini tired, tapi healthy loh :D”, begitu turun papasan dengan turis domestik yang juga saya sapa (saya ko suka banget nyapa orang yak heheh) “tenang mas, mbak, dikit lagi nyampe, capek ya? :)” dijawabnya “ho’oh kapok ga ilok” (kapok banget ga pengen kesana lagi) :D. sekali lagi ini memang masalah mental ^^v.

Saya akhirnya menyimpulkan, negara kita ini sedang “sakit”. Karena penghuninya juga pada “sakit”. Lebih dari itu, sakitnya bukan sakit biasa, tapi sakit “mental”. Indonesia butuh obat untuk sakitnya. Obat itu harusnya obat mental. Bakalan susah sepertinya?. Well, lebih lanjut kita butuh teladan dalam menghadapi masalah mental ini. ya kira2 begitulah.

Sekian tentang mental hari ini :)

4 komentar:

  1. eeh ukh mental bakwan ada ga ya? hehaehheee

    BalasHapus
  2. kita bikin aja ukh, kali enak sambil dimakan siang2, jangan upa es teh nya heheheh

    BalasHapus
  3. berarti butuh para mentalist kayak deddy corbuzier dong?? Hehe...just kidiing. nice posting, semangat terus untuk menulis :)

    BalasHapus
  4. heheheeee, tapi om dedi sudah ganti profesi bukan mentalis lagi pak, dia lebih suka jadi host sekaran g, sayang sekali... ckckck heheh

    BalasHapus