Rabu, 21 Desember 2011

membekas dan tak terhapuskan. Ibu

Ada sebuah nama terukir di kerak bumi, dalam dan membekas. Sebuah nama yang menginspirasi dunia. Ribuan syair lagu dan puisi tercipta dari sosok ini. Dia adalah guru bagi manusia dan peradabannya. Sosok yang mulia dan disebut-sebut ada syurga ditelapak kakinya. Seseorang yang rela memberikan nyawanya untuk anak yang dilahirkannya. Seseorang yang bahkan bisa lebih garang dari singa jika anak dan keluarganya diusik. Demikian besar cintanya untuk keluarga, tidak terhitung pengorbanan dan kerja kerasnya untuk keluarga. Dialah ibu.


22 Desember, disebut-sebut sebagai hari ibu, hari dimana jasa ibu dikenang, hari dimana sebagian ibu didunia “dimanjakan”, hari dimana para bapak dan anak-anak bahu membahu mengambil alih “pekerjaan” ibu sehari-hari dirumah. Hari dimana ibu adalah ratu sehari. Dan benar saja hari ini hanya terjadi satu tahun sekali. Seorang ibu, walau demikian adanya, tetap melaksanakan tugasnya dihari-hari yang lain. Tetap dengan senyuman, tetap dengan maksimal dan tentu saja ikhlas.
Namun terkadang kita lupa, tidak semua ibu mendapatkan perilaku spesial dari keluarganya pada hari ini. beberapa ibu dimasa kini juga menjadi tulang punggung keluarga. Itu artinya banyak ibu dimasa kini menjalani peran ganda mendidik dan merawat anak-anaknya sekaligus bekerja menafkahi keluarganya. Banyak faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Faktor yang terkait erat tentu saja lemahnya perekonomian keluarga. Jika sudah demikian kian berat beban yang harus ditanggung ibu.

Maka dari itu seperti apapun sosok ibu kita, apakah dia seorang yang lemah lembut, atau seorang yang tegas, seorang yang “mampu” menunjukkan kasih sayangnya atau seorang yang kurang romantis tetap saja tidak layak jika kita dengan mudah menafikan usaha, kerja keras dan cinta ibu kita dalam mendidik dan membuat kita menjadi sesuatu dimasa kini. Juga tidak pantas kiranya jika nasehat-nasehat ibu kita tampik dengan semena-mena hanya karena kita berpikir kini kita telah dewasa.

Ibu, sesosok perempuan yang kelihatannya lemah, tetapi sesungguhnya kehebatan pria-pria di dunia muncul dari didikannya, muncul justru dari kelemahlembutannya. Ibu memiliki peran besar dalam perubahan dan perbaikan sebuah bangsa. Sebagaimana diutarakan Rasulullah Saw, Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Karakter sebuah bangsa adalah hasil didikan para ibu disana. Oleh karena itu, jika menginginkan perubahan dan peningkatan kebaikan pada sebuah bangsa, mindset atau pola pikir dan kebiasaan baik para ibu ataupun calon ibu harus dibentuk sedemikian rupa. Sungguh kita dapat melihat betapa besarnya arti dan peran ibu dari sini.

Anda para pembaca bisa jadi seorang pria muda yang enerjik, atau gadis muda yang ceria, atau ibu muda yang gesit, atau bapak muda yang bijak, bisa juga seorang bapak bagi anak-anak yang hebat dan membanggakan, dan bisa juga seorang ibu yang telah berhasil mendidik anak-anaknya, namun satu hal yang membuat kita sama yaitu kita lahir dari seorang ibu. Mari kita selalu mengenang jasa dan pengorbanannya, mengucapkan terimakasih dan selalu mendoakan ampunan serta kebaikan baginya, disetiap hari kita. Ibu... terimakasih, kami mencintaimu... selamat hari ibu....

Kamis, 15 Desember 2011

(benci maling dan oknum sampai sumsum tulang belakang)

Seperti status saya pagi ini, sumpah saya ga tau lagi apa gunanya lembaga negara yang satu ini. Apa gunanya menghabiskan duit negara membiayai pendidikan calon pegawai di lembaga yang satu ini. Sumpah apa gunanya mereka pakai seragam ketat2 itu dan dibekali pistol. Apa gunanya????!

Pagi ini saya mendengarkan radio sambil menyetrika baju. yang ada, saking geramnya setrikaan saya tinggal dan saya malah menuliskan kegeraman saya ini. Bagaimana tidak geram. Mendengar berita tentang pembantaian warga kabupaten Mesuji lampung oleh oknum kepolisian. Saya bingung gitu. Kekejian semacam ini masih ada di Indonesia. Ya Allah... petani singkong mempertahankan tanah adat malah disembelih! Dimana otak mereka para jagal keji itu???

kekesalan dan ketidakmengertian saya berlanjut dan membuncah. Saya jadi flashback ke kejadian beberapa bulan yang lalu, kejadian kehilangan laptop. Laptop saya dan juga laptop adek kos saya beberapa bulan sebelumnya. Saya bingung gitu. Lima tahun saya tinggal disini memang 2 tahun belakangan ini keadaan menjadi menggila. Kami seakan terancam dan tidak pernah hidup tenang. Seperti ada mata maling yang ditempelkan di pagar rumah kami, seperti ada CC-TV maling yang di pasang di ligkungan kami. Maling selalu mengancam. Ya Allah... tempat kami berlindung hanyalah Engkau (berkaca2 ingin menangis)

yang bikin saya lebih heran lagi, setiap kali kami melaporkan kejadian entah ke polsek atau polres (kalau perlu kepolri) yang ada kami yang disalahkan. Yang katanya teledor lah yang katanya kurang primpen lah, gak tau lah! Oke dalam beberapa hal kata2 ini mungkin benar. Tp tolong ditelaah kembali. Apa iya setiap kali ada orang kehilangan lalu itu karena teledor? Apa iya setiap kali ada maling beraksi dan berhasil itu juga salah yang kehilangan karena tidak waspada. Memarkir motor diteras depan dengan pagar tertutup, kunci ganda terpasang apa iya itu masih teledor?. Lalu akhirnya kami dipaksa menerima keadaan bahwa hal ini sudah takdir begitu? Atau ada lagi yang lebih tega bilang kami kurang shodaqoh, memangnya mereka tau kami shodaqoh atau tidak?. Well... ya ya, saya muslim dan saya percaya ini takdir, tapi tidak harus seperti itu terus paradigmanya. Itu sama dengan anda bertawakal tanpa ada usaha.

Itu belum cerita tentang arogansi mereka. Masuk rumah kami sepatu dipakai, masuk masjid juga ga lepas sepatu. Alasannya mau menyelidiki. Saya ingat betul kejadian saat saya “menumpang” mobil mereka untuk membuat laporan ke polsek. Didalam mobil kami masih ditanya2 lagi tentang kejadian kehilangan laptop dimaghrib yang syahdu itu. Padahal sudah dijelaskan berkali2 saat mereka memeriksa “TKP”. Yang ada adek kos yang juga kehilangan laptop dituduh2, tidak secara langsung tapi kata2nya menjerumus dan seperti mau menghakimi. Saya yang sudah muak duluan lihat dan ingat perilaku mereka selama ini ga bisa lagi bohong dan bermuka manis, saya jutekin mereka. Saya bentak balik juga. Emangnya saya ga bisa bentak po**si????!! Demo aja bisa! Saya gak takut!. Begitu pula di saat sampai dipolsek, “penyidik” yang lain nanya2, “apa? Kehilangan laptop LAGI? Biasa arek kos teledor, ga waspada” dan lain2 dan banyak lagi yang bikin saya muntab seketika. BUKAN TIDAK WASPADA DAN TELEDOR BAPAK! MALING INI SUDAH MENGANCAM LINGKUNGAN KAMI? DAN KEPOLISIAN SEHARUSNYA NGAPAIN?, SELAMA INI KALAU ADA KEHILANGAN MALINGNYA SUDAH PERNAH KETANGKAP PAK? SERING BANGGET LO PAK, BUKAN CUMA DIKOSAN KAMI. BAPAK KENAL SIAPA PENADAHNYA? DIDAERAH SINI PASTI ADA PAK PENADAHNYA? BAPAK TAU?BERAPA BANYAK MALING YANG SUDAH KETANGKAP PAK???? (dengan mata menyipit mulut meringis menghina gaya antagonis paling jahat disinetron paling memualkan ditivi), dan beliau yang terhormat hanya berkata, sambil memandang saya dengan tatapan yang aneh bertanya2 dan bingung, “yaa TUGAS kami adalah melakukan penyelidikan” (lalu kembali kekomputer dn mengetik data kami) WHATSS?? That’s all?? Gitu doang? Ngunu tok?

Biyuuuuhhh suwerrr harusnya saya bawa bonbon suaminya mommy (kucing dikontrakan kami) buat pipis ditembok kantor ini (!!). Kami lalu dijanjikan patroli setiap malam jam sepuluh. Alahhhhh PREEEETT, malam itu saja mereka sudah ga nampak. Sumpah saya pingin nge-garok mereka saat di kantornya. Asli wajahnya ga ada yang manis blas. Yang saya maksud adalah, kalaupun mereka tidak pandai menangkap maling, paling tidak bicaralah yang baik, kami ini korban seharusnya dihibur, walaupun mungkin kami akan kembali mbatin: PREEETTT.

Tag line mereka yang “melayani dan memberi rasa aman” saya rasa harus segera diganti; “membantai dan memberikan rasa terancam”. Oh well... disini siapa yang belum pernah deg deg an kalo ada po**si dipinggir jalan. Ga selalu tapi pasti pernah. Entah karna lupa ga bawa SIM atau mungkin spion ga lengkap, atau ga pake sabuk pengaman saat mengendara mobil, atau helmnya ga standar bukan karna nantangin tapi karna ga ada duit buat belinya?? Apapun alasannya anda pasti pernah mengalaminya. Jangan2 habis ini tulisan saya terkenal lalu saya juga dituntut mencemarkan nama baik lembaga ini (emang pernah punya nama baik??).

Well, mungkin disuatu kantor ada oknum yang masih punya nurani, entah dimana itu dan siapa namanya, yang pasti saya doakan agar dia tetap istiqomah dan dapat menjadi penggerak perubahan dilembaga ini, kalaupun tidak berubah ya bubar lah. Yang pasti, selama ini yang saya temui bentuk dan perilakunya begitu semua. Entahlah, apa masih ada gunanya...

Kamis, 09 Juni 2011

ini memang masalah mental, bung! :D

Mental krupuk, mental tempe, mental baja. Lagi2 ini masalah mental

Mari kita jujur, seberapa baik kita mengenali diri? Juga mendefinisikan sebenarnya kita mempunyai mental apa? Krupuk? tempe? Tahu? Yang mana itu enak sekali dimakan hangat2 :D. Oh! Atau mental baja?. Lho, jangan keburu berburuk sangka. Saya memang akan menulis tentang mental, tapi tidak akan memberikan penilaian mental pribadi2, tetapi mental sosial, nah lo apa lagi ini?? heheh, biarkan saya mendefinisikannya sendiri yah. Sebentar saja saya browsing kamus online, inilah arti mental: bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga. Jika kemudian saya memilih untuk menggabungkannya dengan kata sosial, maka kira-kira maknanya begini, suatu keadaan kesamaan watak atau mindset pada suatu kelompok sosial tertentu. Hmm.. yah begitulah kira-kira, semoga dapat dipahami. Piss.

Akhir-akhir ini seakan-akan mata saya dibuka lebar-lebar untuk kembali menyadari bahwa memang banyak yang perlu kita benahi untuk perbaikan yang lama kita nanti-nanti kedatangannya. Perbaikan apa? Banyak, misalnya perbaikan dibidang politik, perbaikan di bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, keamanan, pendidikan dan lain sebagainya yang mari kita definisikan sebagai kebutuhan berkehidupan.

Saya pernah melakukan perjalanan Surabaya-Jember menggunakan patas malam. Tidak ada yang istimewa termasuk adanya tiga cowo cakep (hehee) berwajah asia banget yang ternyata malah lebih fasih berbahasa Inggris. Kebetulan saya duduk disebelah salah satunya. Namanya cing we (apa gitu :D). Betul perkiraan saya sebelumnya, tiga pemuda ini adalah pelancong dari luar negeri (Singapura) yang kepincut dengan ketenaran Bromo, kalo mereka bukan turis yang kaya banget (nah lo turis juga ada yang miskin loh), mereka tidak sewa guide tapi lebih pilih perjalanan sendiri, itung-itung adventure begitu kata kenalan saya turis -Irlandia- yang lain saat saya di atas kapal fery nyebrang ke Bali beberapa tahun silam. dalam perjalanan itu saya mencoba menjelaskan rute yang biasa ditempuh turis luar negeri jika ingin ke Bromo. Tidak ada yang istimewa pula dengan obrolan malam itu kecuali satu sikap mereka yang saya amati dan bikin saya kagum ^^d. Mereka tetap menggenggam sampah plastik bekas makanannya sampai turun di terminal probolinggo. Anda tau? Disisi lain saya melihat seorang lelaki asli Indonesia buang sampah bungkus tahu sumedangnya di lantai bis begitu saja setelah melahap potongan tahu terakhirnya :D. Ada dua analisis, pertama, mungkin karena mereka tidak tahu bahwa di Indonesia “boleh” membuang sampah sembarangan. Kedua; itu sudah jadi mental mereka, secara Singapura adalah negara maju ghella ghetto (anak ghaol mode.on) ya ga?? Hehe. Ini masalah mental, saya yakin itu.

Pengalaman kedua, mata saya kembali dibuka tentang mentalitas sosial ketika saya berada dalam forum Konferensi Pekerja Anak: Advokasi Kebijakan untuk Mendukung Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) di Kabupaten Jember. Saya semeja dan sekelompok dengan si Mufti ahmad, pejuang Serikat Buruh Migran Indonesia asal jenggawah. Pemuda berjenggot ini membuka percakapan dengan cerita tentang aktivitas dia di LSM-nya. Saat itu kami sambil makan siang di resto hotel tempat kami konferensi. Seperti biasa, saya selalu takjub dengan anak-anak muda yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanfaatan orang lain, semacam teman saya ini juga teman-teman organisasi kepemudaan lain yang saya ikuti (jadi kamu ga perlu geer ya mufti :D). Tibalah percakapan kami pada permasalahan negara (ceile syiape kite ngomongin negara :D) tapi percakapan dengan tema2 seperti ini saya pkir penting sekali dilakukan oleh para pemuda, supaya tersedia stok pemikir di negara ini untuk masa depan. Kami terus saja saling bertukar pendapat tentang sistem di negara kami tercinta ini. Dulu saat sebelum reformasi cerita tentang korupsi dan memperkaya diri sendiri adalah hal yang tidak mencuat ke muka umum tetapi ia sudah menjadi semacam “kebiasaan”, seperti kata yang baru saya temukan ini juga bisa dinamai mental sosial, hal2 semacam ini bahkan seperti menjadi sistem yang berlaku “resmi” dalam setiap urusan bernegara kita, mengurus KTP harus membawa amplop lebih, minta tandatangan harus membawa parcel, menangin tender harus bawa hadiah (baca:gratifikasi) delele. Nah, ketika reformasi digulirkan, ada secercah harapan, saya yang saat itu kelas 5 SD tidak terlalu ngeh dengan apa yang terjadi di Indonesia, mengapa mas-mas mahasiswa yang gagah dan keren-keren itu menuntut reformasi. Saya hanya tau saat itu berita2 di SCTV (satu2nya TV swasta yg aktif menayangkan berita-berita reformasi saat itu) mengatakan bahwa jika reformasi bergulir, mbah harto turun maka Indonesia menjadi lebih baik. Itu saja.

Kini saya sudah besar, saya jadi tahu semua melalui keterangan dosen-dosen saya juga kakak-kakak saya di organisasi, juga karena membaca buku-buku. Awalnya saya benar-benar berpikir bahwa reformasi adalah gagasan yang sangat baik untuk perbaikan bangsa ini. Saat itu pemikiran saya hanya sampai situ. Saya lupa bahwa pelaku reformasi adalah manusia juga, ehh ketemu sama si mufti yang bercerita banyak tentang betapa susahnya birokrasi, juga beberapa kejadian yang saya alami sendiri (berhubungan dengan sistem tentu saja) membuat saya berpikir bahwa masalah negara ini lebih kompleks dari sekedar mengganti sistem. Korupsi masih menggejala bahkan dengan jumlah yang spektakuler, hukum menjadi ajang jual beli kasus, nampaknya guyonan masa kecil saya menjadi kenyataan “polisi menangkap, jaksa menuntut, hakim membebaskan” (in memoriam hakim “S”) :D. Emm... kasus orang hilang juga ternyata masih terjadi. Bahkan sekarang terjadi begitu banyak penembakan dan pembunuhan disiarkan di tivi alasannya mereka diduga sebagai teroris, ini mah bukan “petrus” lagi, karena emang ga ada misterius2nya :D. Jadi setelah reformasi bergulir hal2 yang banyak terjadi di rejim orba juga masih terjadi loh! :o. Betul sih kata teman saya itu, Ini... memang masalah mental bung :D.

Aah... jauh2 ngomongin reformasi. Kemarin saat naik untuk yang kedua kalinya ke dataran tinggi Ijen, saya kembali berpapasan dengan bule (ga tau kenapa saya suka banget kalo ketemu mereka, biar bahasa Inggris saya belepotan, saya suka ngajak ngobrol mereka :D). Ada satu yang mendahului langkah saya, lalu saya sapa “tired ya mister?”, “yeah tired” jawab dia sambil tersenyum, selanjutnya saya tanya dia yang ternyata berasal dari perancis, kemudian melanjutkan perjalanannya sambil riang dan berlari!, di sisi lain saya tengok ke belakang, rombongan saya yang isinya mahasiswa manis-manis dan masih muda itu, pada terseok ngos-ngosan ta berdaya :D. Tiba di puncak kembali rombongan kami dilewati rombongan turis dari Inggris, salah satunya kembali saya sapa, “woaa, kalian ga capek mister?” (saya takjub karena mereka turis tua2, terlihat dari keriput kulit dan tongkat yang dibawa) akhirnya dia menjawab “yeah ini tired, tapi healthy loh :D”, begitu turun papasan dengan turis domestik yang juga saya sapa (saya ko suka banget nyapa orang yak heheh) “tenang mas, mbak, dikit lagi nyampe, capek ya? :)” dijawabnya “ho’oh kapok ga ilok” (kapok banget ga pengen kesana lagi) :D. sekali lagi ini memang masalah mental ^^v.

Saya akhirnya menyimpulkan, negara kita ini sedang “sakit”. Karena penghuninya juga pada “sakit”. Lebih dari itu, sakitnya bukan sakit biasa, tapi sakit “mental”. Indonesia butuh obat untuk sakitnya. Obat itu harusnya obat mental. Bakalan susah sepertinya?. Well, lebih lanjut kita butuh teladan dalam menghadapi masalah mental ini. ya kira2 begitulah.

Sekian tentang mental hari ini :)

Senin, 11 April 2011

Karena doa adalah nama, dan tentu saja nama adalah doa

Karena doa adalah nama, dan tentu saja nama adalah doa
Jamak kita dengar ungkapan nama adalah doa, saya pun sebagai muslim paham betul maknanya apa. Suatu ketika saya baca bukunya pak Miftahul Jinan (yang arti namanya-pun saya sukai: kuncinya surga-surga) yang berjudul “Alhamdulillah, anakku nakal”, sebuah judul yang profokatif. Benar saja, isinya pun sangat menarik. Dalam tiap halamannya saya menemukan hal baru tentang dunia per-anak-an (ceile, kaya yang udah tau banyak) heheh.

Ada satu paragraf yang menarik perhatian saya. Disana pak kunci (eh ga enak banget dibacanya) Surga-surga (nah ini baru enak heheh) mengutip Thomas L. Madden yang menjelaskan tentang sebuah teori yang ia beri nama siklus 21 (dalam bukunya “Fire Up Your Learning”). Begini ceritanya, seseorang yang menerima suatu afirmasi atau label dari orang lain yang tidak sesuai dengan dirinya, pada awalnya ia akan menolak afirmasi dan label tersebut dengan keras. Jika afirmasi dan label tersebut terus ia dengar maka akan terjadi penurunan volume penolakan hingga sampai pada kondisi ia tidak menolak dan juga tidak menerima afirmsi dan label. Pada hari ke 21 jika afirmasi dan label terus disampaikan kepada dirinya, maka akhirnya ia menerima dan meyakini dirinya sesuai pada label dan afirmasi yang ia tolak sebelumnya.

Waw! Subhanallah, ‘ajibtu: saya takjub. Sebenarnya saya sudah lama mempunyai pengetahuan tentang ini, tapi yang berdasarkan penelitian ya baru ini. Duh, saya makin cinta dan yakin dengan kebenaran alqur’an, terutama surat alhujurat ayat 11 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Nah lo, indahnya Islam, 14 abad yang lalu mana ada program study ilmu psikologi hehehh. Kejadian ini mengingatkan saya juga pada komunitas unik bernama SALSABILA (hello gals... :D). Beberapa anggotanya mempunyai julukan masing2. Pemberian julukan ini unik2 dan bikin tambah akrab loh . Ada yang akhirnya digelarin istri sholihah justru karena hobi loundry dia (coba kamu hitung nduk udah 21 hari belom anak2 manggil anti istri sholihah? Insyaallah kesampean hihihii), ada juga yang di panggil abi, karena sifatnya yang selalu melindungi dan tegas, ada juga yang dipanggil gulah, ada juga yang dipanggil lelot (haduh yang ini ga bagus deh, panggil yayang aja yah), ada yang dipanggil cik gu, sebelumnya malah dipanggil komandan (karena dia mas’ul), ada yang dipanggil menis kadang rohmat,ada pula yang dipanggil dian osteoporosis, atau mbak cik (saking liciknya (baca: cerdik) huek males saya ngakuinnya heheh) ada yang dipanggil solmet, ada yang dipanggil bu, ada yang dipanggil ummu huroirah saking senangnya dengan kucing, kadang juga ada yang dipanggil yanto, weww hehehh. Diluar bermacam panggilan dan julukan itu, kenyataannya nama memanglah sebuah do’a. Itu seperti kita nyumpahin seseorang, Cuma nyumpahinnya baik apa buruk itu saja perbedaannya.

Maka kelak jangan namai anak kita dengan nama-nama yang sepertinya itu keren tetapi artinya kita tidak tau. misalnya hengki juande as surabaye (apa coba maksudnya??) heheh, adalagi misalnya robert jahannam (hii ngerii :D). Atau mungkin artinya bagus, tetapi panggilan kita padanya tidak tepat, misalnya ada seorang temannya teman bernama “kunti taqiyya” artinya bagus, “jadilah kamu (perempuan) bertaqwa”, tetapi dipanggilnya kunti, lama-lama di plesetin teman2nya kuntilanak, kasian kan?. Atau ada lagi, bagus2 namanya “Ahmad” tetapi napa penggilan jadi “mamad” (lah jadi inget lagu reng medureh..bla bla bla beobeh :D). Atau ada juga yang memberi gelar “hi, little monster” pada anaknya, maunya keminggris, tapi jadi ngedoain anaknya jadi monster, ato malah sengaja menjuluki anaknya yang kedua yang kebetulan “paling nakal”(memangnya definisi nakal itu apa?) dengan sebutan, “itu, si badung”. Jelas sudah kita akan lihat masa depan si anak lewat julukan kita padanya. Waspada.

Eh saya jadi ingat lagi, dulu sewaktu di ma’had tiap mengaji tafsir alqur’an bersama pak yai Ali Mansur, beliau suka mengartikan ayat-ayatnya secara kata per kata, dan kadang-kadang membuatnya menjadi rangkaian kata yang bagus dan penuh makna untuk menjadi sebuah nama. Akhirnya saya jadi punya hobi ngumpulin nama-nama dari redaksi yang (berserakan) di alqur’an, atau menggabung-gabungkan nama-nama tokoh dengan harapan itu jadi rangkaian nama yang penuh doa. Dulu saya tidak berpikir akan saya apain nama-nama itu, bisa jadi untuk anak-anak saya sendiri kelak (kalo ada umur mpe punya anak :D), atau mungkin bisa saya kasih ke teman-teman yang butuh nama buat anak-anaknya. Ehhhh ta disangka-sangka ternyata laris. Saya bikin note ini juga karena ada lagi yang nanya: “punya nama-nama bagus dan Islami tak?” Heheh.

Ehmm just wanna share, ini nama-nama yang sempat saya bikin dahulu kala, ga banyak sih tapi mungkin bisa membantu mereka yang sedang cari inspirasi nama buat anaknya yang baru lahir, atau yang mungkin pengen nyumbang nama buat ponakannya, atau mungkin juga ada yang mau ganti nama profil, atau mungkin buat yang iseng (baca: mupeng) banget pengen ganti nama ampe bener-bener berniat ngurus KK dan KTP di kelurahan hehehhh:

1. Ahmad kayyis rofiq (ahmad: Nabi Saw, kayyis: pandai, rofiq: teman seperjuangan)
2. Ahmad Rofiq Abror (ahmad: Nabi Saw, rofiq: teman seperjuangan, abror: baik)
3. Fatimah mustabshiroh (fatimah: puteri Nabi Saw, mustabshiroh:penggembira, surat Abasa 39)
4. Aisyah musfiroh (Aisyah: Istri Nabi Saw, musfiroh: bersinar, abasa 38)
5. Saaro musfiroh (saaro itu kalu ga salah perjalanan, sama dengan atas)
6. Wildanun Mukholladun (pemuda yang tetap muda (pemuda para penghuni syurga) al insan 19)
7. Khilyatul aimmah (perhiasan pemimpin, kalo ini nama guru saya, orangnya cantik dan sholihah, cerdas pula, subhanallah jadi terisnpirasi heheh)
8. Khoirus safaroh (sebaik2 utusan)
9. Nadhirotur Rusuli (pandangan para Rosul)
10. Fauzul Akbar (cowo) atau fauziah akbar (cewe, ini nama kaka kelas saya, orangnya semampai dan sangat cerdas) ada di alburuj 11
11. Abdul wadud (hamba yang tercinta)
12. Khoirul Faqih (sebaik2 orang yang paham agama)
13. Izzatur Rayyani (pintu syuraga yang tertinggi)
14. Aimmatul khanifah (pemimpin yang condong pada Allah, hanif: julukan Nabi Ibrohim: condong pada Allah)
15. Annas Sholih (manusia Sholih)
16. Khoirul Bariyyah (sebaik2 makhluk surat albayyinah) lhaa, malah saya punya temen namanya ini tapi akhwat wekekekk piss mba ilulll ;)
17. Si’rot An najm/ Sirotun najmi (bintang tertinggi, ada di alqur’an juga tapi lupa ga catet suratnya, coba yang punya mu’jam syarif sys dibantu heheh)
18. Rosa Adzkia Rohmatillah (hehehh mekso titik)artinya bunga mawar yang cerdas dan dirahmati Allah... aaminn ehm.. :D
19. Lilik muzayyanah (mutiara yang berbarokah)
20. Salsabila bilqis ar royyan (salsabila: mata air di surga (surat al insan: 18), bilqis: ratu cantik masuk Islam dalam kisah Nabi Sulaiman AS. Arrayyan: pintu surga bagi Shoimun)
21. Khairl kadhimin (sebaik2 orang yang menahan amarah, ali imron144)
22. Imaad aqil al atiq (imaad aqil: asy syahid di palestin waktu itu, al atiq: si tampan/baik rupa, salah satu julukan buat abu bakar)
23. Amir Syamil basayev (pejuang cechnya idola saya waktu SMP) hehehh habis keren sekali profilnya, googling deh kalo penasaran 
24. Umar Faruq al atiq (gabungan dari Umar bin khattab beserta julukannya (faruq) dan juga abu bakar, jadi dia harapannya jadi tegas dan cerdas macam umar, juga cakep dan lembut macam abu bakar hehehh)
25. Ali roziqin al hasan (cerdas seperti Ali ra, yang rizqinya melimpah dan menginspirasi seperti cucu Rasulullah al Hasan juga serupa syaikh Hasan Albanna)
26. Muh. Irsyad Hanif Al Umar (4 nama orang diborong hee) artinya terpuji bagai Muhammad Saw, irsyad: petunjuk, hanif : condong pada Allah, umar: tegas dan bertanggung jawab seperti Umar ra.
27. Hengky juanda as surabaye (walah! Kalu ini karangan temen ma’had saya yang usil corat coret di catatan saya hehehh)
28. Muhammad Dhorif Fathoni (Dhorif: cakep, Fathoni: cerdas)
29. Aqlan Dzakiyan (salah satu ciri pemuda muslim (dalam tarbiyah) artinya: mempunyai akal yang cerdas, sempurna)
30. Aradina Adzkia/azkia Kamil (yang ini udah dipake ponakan saya, tapi bolehlah dimodif kalu tertarik mau pakai, artinya tetep bagus ko). Aradina: aku tau agama (dari kata aroo dan diina: bikinan mas saya), azkia (urunan saya :D) artinya (lebih) suci (dari kata zakaa akar kata yang sama untuk zakat), adzkia (cerdas/cendekia, sama seperti dzakiyan diatas), Kamil (sempurna: nama mas saya heheh). Kalo diartikan, aku tahu agama dan aku memiliki kecerdasan/kesucian yang sempurna...
Insyaallah...

Semoga kelak, nama ini mengantarkan ia

menjadi perempuan sholihah, pembela agama Allah, taat pada orang tua, bermanfaat dan cinta pada negara. Dan keponakan saya alhamdulillah, seperti kebanyakan anak kecil lainnya, sungguh sempurna adanya, berumur 3 tahun, cerdas sempurna, cantik dan sangat menonjol di komunitasnya, alhamdulillah. Insyaallah semua karena do’a adalah namanya dan nama memang sebuah do’a....

maghrib yang gentar mendengar cerita mama ervin melahirkan putra ke limanya di sumur... tanpa bidan dan bayinya selamat. subhanallah, wallahuakbar!

Rabu, 30 Maret 2011

Tentang anak2 (bukan kelucuannya, tapi nasib buruknya)


Sebuah renungan. Atas ketidakadilan dan nasib buruk anak bangsa karena punya pemimpin pandai bicara tapi tidak pandai bertanggung jawab dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang "pendiam". inilah ceritanya.

Tempo hari saya bertemu Rizki, dia pemulung, yang ternyata juga pengemis yang khas dengan baju jelek, kotor, compang camping dan korengan. Saya melihatnya malam itu memulung kardus di depan sebuah warnet, kemudian ketika saya berniat membelikannya roti dia sudah raib dari sana, Thingak thinguk saya cari2 dia ternyata sudah ngendon di depan depot soto yang terkenal di kota ini sambil menadahkan tangan dan menelan ludah beberapa kali. Terenyuh hati saya ingin menangis, tapi saya tahan, karena saya penasaran ingin mengetahui profil si Rizki. Saya tanya-tanya dia. Jawabannya dia Rizki telah berjalan hampir 20 KM tiap hari untuk mulung didaerah kampus, berumur sembilan tahun dan putus sekolah. Terlepas dari pendapat teman-teman yang mungkin pernah mendapati pengemis yang ternyata kaya, punya rumah dan tipi, tapi menurut saya ia si Rizki juga yang lainnya itu miskin, kalaupun tidak miskin benaran, mereka tetap miskin intelektual dan juga miskin mindset. Ini salah siapa? Siapa mau bertanggung jawab?

Tentang anak-anak, inilah yang membuat saya geregetan untuk segera menuliskannya. Masih tempo hari juga, saya mendapat undangan untuk hadir pada Konferensi Pekerja Anak: Advokasi Kebijakan untuk Mendukung Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) di Kabupaten Jember. Saya belum tahu akan membahas dan menghasilkan apa. Tetapi ini sekali lagi membuka mata saya lebih lebar juga membuat luka hati saya semakin menganga. Karena harus membaca realitas tentang keberadaan dan keadaan anak-anak di Indonesia dan di seluruh dunia.

Pernah saya mengikuti training pengkaderan yang diadakan oleh KPK, saat itu sesi perkenalan, semua peserta diminta untuk menggambar apapun yang dapat mendeskripsikan diri atau apapun yang sedang dipikirkan. Saya mulai menggambar bentuk-bentuk. Misalnya segitiga, maka saya menggambar kembali segitiga dengan ukuran lebih kecil didalam segitiga yang pertama, begitu pula lingkaran dan juga persegi. Maksud dari gambar itu adalah KEADILAN. Yang menjadi definisi keadilan adalah kebalikan dari definisi kedzaliman: meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ini artinya, seharusnya bangun segitiga itu ditempatkan pada bidang segitiga saja begitu pula dengan bangun yang lain.

Keadaan yang sedang terjadi di negara ini adalah kedzliman yang besar. Dalam training tersebut saya mengungkapkan kekesalan saya atas apa yang terjadi di negeri ini, terutama misalnya, anak-anak itu lemah, yang perlu dilindungi dan membutuhkan kasih sayang. Maka tempat mereka adalah rumah yang nyaman dengan kasih sayang penuh ayah dan bunda, bukan di lampu-lampu merah, bukan pula menggelar kardus-kardus kumuh di depan etalase-etalase toko, bukan pula menjadi pembantu rumah tangga, apalagi sampai ke luar negeri. Beberapa kasus malah mereka menjadi korban human traficking, yang “bernasib baik” akan dijadikan PRT (dengan sistem perbudakan tentu saja) dan yang bernasib buruk bisa jadi pelacur dan mungkin bahkan kehilangan nyawa. Inilah ketidakadilan itu.

“Masalah pekerja anak di Indonesia, sebenarnya merupakan persoalan klasik. Hanya saja jika pada tahun 1976 hanya 13,9% anak yang menjadi buruh, kini jumlah buruh anak bisa jadi sudah berkali--kali lipat yakni mencapai 80 juta orang, atau hampir 70% dari total penduduk.
Laporan yang disampaikan ILO dalam releasenya menyebutkan, sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan, praktek ijon, pelacuran pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak.

Menghenyakkan kita memang. Tapi yang lebih membuat geram, bahwa 3 juta dari 8,4 juta yang dilaporkan, ternyata adalah anak-anak Indonesia. Mereka terpaksa bekerja dan tak jarang harus melakukan pekerjaan yang membahayakan perkembangan mental fisik dan emosionalnya. Mayoritas dari mereka, bekerja di sektor pertanian yang tidak bebas dari penggunaan bahan kimia dan peralatan berbahaya atau di jermal-jermal yang tingkat bahayanya tidak saja bersifat fisik dan biologis. Sementara lainnya memilih menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga, pekerja seks dan pekerja pabrik.

Hasil laporan Badan Pusat Statistik terhadap survey pekerja anak di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006. Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari kaum perempuan yakni 1.734.126 orang dengan laki-laki 130.948 orang.” (dikutip dari www.indosiar.com).

Ini baru data yang “terdata” bagaimana jika ternyata jumlahnya lebih besar dari itu?. Pertanyaan ini tidak akan terjawab tentu saja (Di negara ini menghitung jumlah penduduknya saja tidak pernah valid). Lalu mana tanggung jawab? Dan siapa yang harusnya bertanggung jawab?. Berteriak kepada pemerintah hari-hari ini sudah sama dengan kau berada pada kapal yang karam, sendirian ditengah badai di lautan. Yang hanya bisa mendengar adalah Tuhan saja.

Mengeluhkan kepemimpinan mereka juga seakan menjadi rutinitas kita sebagai “orang biasa” yang tidak terlibat politik praktis apalagi duduk dalam posisi pengambil kebijakan, yang artinya adalah: cukuplah keluhan itu menjadi kambing hitam atas “ketidakmampuan” (atau mari kita jujur menyebutnya “ketidakmauan” bahkan “ketidakpedulian”) kita untuk berkontribusi. Sebagai muslim (yang sedang dan terus berusaha) produktif saya berucap na’udzubillah. Hanya kepedulian dan kerja nyata kitalah yang dapat membebaskan “anak-anak” kita dari cengkeraman ketidakadilan itu. Sekecil apapun, sesedikit apapun, mari perduli, bahkan pada apapun yang sepertinya jauh dari jangkauan kita (baca: isu pekerja anak ini).

Dalam suatu forum diskusi saya mendapat pelajaran dari seorang panelis yang mengutip Cofusius: “ketika kita ingin hidup selama setahun kedepan, tanamlah benih. Jika kita ingin hidup 5 tahun kedepan, tanamlah pohon, jika ingin hidup 50 tahun kedepan, tanamlah SDM”. Rizki dan anak-anak lainnya berhak menikmati masa kecilnya juga, masa yang adil untuk mereka, masa yang menentukan hendak jadi manusia macam apa mereka nanti. 50 tahun ke depan, generasi merekalah pemegang tampuk kepemimpinan. Semoga konferensi esok hari menghasilkan SESUATU untuk mereka. Agar tidak lagi muncul si budi kecil-nya Iwan Fals, atau si alif kecil-nya Snada, juga si Rizki kecil-nya anees.

Dalam kegalauan atas nasib anak bangsa. dan anak2ku kelak.

Love u Rizki kecil....

Jumat, 25 Maret 2011

Aktualisasi dan militansi tanpa judul*


*oleh Anis Rohmatillah (Kaderisasi Komisariat Hukum-Fisip 2007)

Menjadi (kan) kader militan adalah impian departemen kaderisasi terhadap semua kadernya. Kader yang dia rekrut kemudian dia bina. Kesemuanya berakhir pada militansi kader kepada gerakannya bahkan lebih dari itu, militansinya terhadap Islam. Membaca dan memaknai kata militansi bagi kader KAMMI tentu sudah jauh berbeda dengan pandangan para orientalis yang seringkali menggunakan kata “militansi” untuk mengambarkan segudang cerita (mengarang) tentang terorisme.

Kader KAMMI mutlak dan wajib ain memiliki militansi gerakan sebagai ciri khas yang melekat erat dalam setiap nafas hidupnya, karena nafas organisasi tergantung pada nafas kader-kadernya. Maka berbicara tentang militansi juga berbicara tentang bagaimana itu mungkin terwujud. Bicara tentang militansi adalah bertanya tentang seperti apa itu wujudnya. Jika ada yang bertanya begini kepada semua kader, tentu saja akan mendapati jawaban yang berbeda-beda. Tapi sekarang mari kita bicara militansi dengan kacamata aktualisasi diri.

Mari kita maknai Militansi dan aktualisasi diri satu persatu dahulu. Dalam kamus Bahasa Inggris, Militancy memiliki arti; semangat baja atau semangat berjuang. Imam Hasan Al Banna mengatakan bahwa semangat berharokah adalah keniscayaan dalam berdakwah dan merupakan penggerak cita-cita. Semangatlah yang menggerakan jasad kita untuk tetap berharokah dan beramal.

Sedangkan Aktualisasi diri dalam wikipedia didefinisikan sebagai “kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang dia bisa”. Jelas sudah apa yang dimaksud aktualisasi disini. Mengapa dari aktualisasi bisa menjadi militansi? Karena ketika kader mengaktualisasikan dirinya disaat itulah ia sedang memberikan yang terbaik bagi gerakan dakwahnya.

Sekali waktu ada yang bertanya, apakah militansi itu selalu PENUH dengan BEBAN dan AMANAH? Satu dua kali bisa jadi itu benar, seorang kader dakwah (baca: anak KAMMI) pantang mundur dengan amanah. Dan amanah memanglah sebuah beban yang juga merupakan sebuah keniscayaan yang akan dipanggul pundak-pundak kader dakwah. Bisa jadi juga pertanyaan itu tidak terlalu benar, karena sering terbersit dalam pikiran kader bahwa mereka yang amanahnya segudang adalah mereka yang militansinya tinggi. Mengapa ini menjadi salah? ini menjadi salah manakala beban amanah yang ditanggungnya banyak dan bejibun tetapi dia tidak memberikan kesempurnaan yang pasti dalam eksekusinya. Dia tidak beraktualisasi dengan total entah dengan banyak alasan tentunya, dari yang syar’i hingga yang “dibuat”syar’i, meminjam istilah akh Agus Supriyadi Unsoed “kader-kader zombi”, yaitu kader dakwah yang berjalan tanpa ruh dan semangat. Astaghfirullah tsumma na’udzubillahi min dzalik.

Selanjutnya, konsep aktualisasi diri yang berarti totalitas mendapat dukungan dari firman Allah ta’ala dalam surat almu’minun (23):8
     
Artinya: “Dan (sungguh beruntung) orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”

Jika semua kader mau dan berani memberikan aktualisasi diri kepada gerakan, niscaya targetan kaderisasi untuk mempunyai kader-kader yang militan akan segera tercapai. Karena ayat tersebut bicara mengenai profesionalitas untuk itulah kader militan juga akan terwujud manakala profesionalitas senantiasa dijaga dan dilakukan.
KAMMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, ada nilai luhur dan sangat mendalam saat para founding fathers kita membidani kelahiran gerakan ini dan kemudian menamainya KAMMI. KAMMI seharusnya sarat dengan pemuda-pemuda yang tak bisa diam (baca: aksi) dan oleh karenanya “pihak-pihak” yang berwenang sudah seharusnya membantu kadernya untuk dapat terus beraktualisasi. Contoh konkritnya adalah KAMMI sebagai Harokatut tajnid, harokah kaderisasi, demikian disebut dalam manhaj. Tiang kaderisasi adalah perekrutan, pembinaan dan pemberdayaan, maka kaderisasi tidak selesai pada tugas perekrutan dan pembinaan saja. Mereka harus bergerak aktif memberikan ruang aktualisasi diri kader dalam rangka pemberdayaan itu.
“Kegagalan” kaderisasi (yang mungkin ada) untuk mencetak kader-kader militan bisa jadi memang salah departemen itu sendiri, tetapi bisa jadi juga tidak (apakah anda tau seberapa banyak kata bisa jadi itu bisa terjadi dalam hidup yang tidak bisa ditebak ini?). Begini maksudnya, bagaimanalah kader akan terbentuk militansinya jika dengan gerakannya sendiri ia tidak kenal. Ia tidak tahu cara gerakannya (baca: organisasinya) mengadakan rapat, kegiatan dan bersidang misalnya. Namun, sebagai kader KAMMI penulis yakin kaderisasi KAMDA Jember telah lama melakukan itu, penulis-pun dulu pernah berada di departemen “basah” itu walaupun di tingkat komisariat. Tetapi terkadang yang menjadi ganjalan dalam perjalanannya adalah kader itu sendiri. Ketika kaderisasi telah memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi para kader untuk melakukan aktualisasi diri, para kader tidak menyambut gayung yang diayunkan departemen ini, sekali lagi tentunya dengan banyak alasan syar’i dan (dibuat) syar’i. Ibarat bertepuk sebelah tangan, pernyataan cinta ini tak dijawab dengan pasti, sayang sekali. Adalagi yang kemudian menyalah-nyalahkan proses tarbiyahnya, menyalahkan jadual liqo-nya yang tidak jalan, menyalahkan murobbinya bahkan menyalahkan teman-teman liqoatnya. Apakah salah menyalahkan mereka? Tidak juga, karena bisa jadi (lagi) itu benar adanya, untuk itulah perlu kerjasama kolektif dari semua pihak. Dari mulai kaderisasi yang punya kepentingan mencetak kader militan, murabbi sebagai perangkat tarbiyah kader, juga kader itu sendiri yang diharapkan “tahu diri” dia sedang menjadi target sasaran pencerdasan intelektual, ruhiyah dan jasadiyah (mungkin) sehingga terjadilah harmoni kaderisasi itu.

Kisah militansi sebagai kepentingan departemen kaderisasi saja (yang terdapat pada kalimat pembukaan) sebenarnya juga tidak selalu seperti itu, ada banyak calon kader yang memang dengan sengaja menceburkan dirinya dan dengan suka rela menjadi basah dalam gerakan dakwah. Suka atau tidak suka, militansi harus dimiliki atau (dipaksa) untuk dimiliki oleh setiap kader. Walaupun sebenarnya menurut penulis yang terbaik adalah ikhlas beraktualisasi dan bermilitansi, inilah yang penulis maksud dengan aktualisasi dan militansi tanpa judul. Karena dalam At- taubah (9):41 Allah Ta’ala sudah terlanjur menjanjikan yang terbaik bagi mereka yang militansinya tinggi. Sebagai muslim, kader atau bukan kader dakwah, seharusnya ngiler dalam urusan ini.
“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” Q.S At Taubah [9] : 41.
*tulisan ini juga memenangkan lomba essai milad KAMMI ke 13, hadiahnya "quantum tarbiyah" qiqiqiqqq, alhamdulillahhh ;D

Kamis, 24 Maret 2011

Futur itu salah siapa?


Sudah larut sebenarnya, tapi biarlah ini dalam rangka kepuasan batin. Bisa jadi ini curcol (baca: curhat colongan) tapi ini juga merupakan satu pelajaran, bermula dari segudang aktivitas kami sebagai aktivis dakwah. Hari berganti hari, berganti bulan, tahun-pun berlalu, tak pernah kami menyesal atau merasa terpaksa melakukan semua aktivitas ini. Tetapi kami juga manusia, kami adalah kumpulan manusia, bukan malaikat, itu kami sadari betul justru ketika sesuatu yang salah dan kurang tepat telah terjadi pada salah seorang diantara kami.

Ada yang dulunya aktivis kawakan, namanya si pertama, dengan ciri fisik dan profil diri yang sangat dominan, ia menjadi sangat terkenal dengan kesalehan pribadi dan sosialnya. Gerak langkahnya menjadi teladan bagi semua. Tapi angin berhembus, tidak ada yang istimewa dengan angin itu, karena seperti biasa angin itu pasti datang setiap waktu. Diminta ataupun tidak. Yang membuat angin itu menjadi berita adalah, bahwa angin itu ternyata berhasil membuat si pertama, yaitu salah satu dari kami itu limbung dan terjatuh, kemudian terbawa pergi. Tidak ada yang tahu sebabnya saat itu semua terjadi dengan mendadaknya, membuat semua tersedak tidak percaya, bahkan menangisinya memohon untuk kembali, tapi terlambat. Usut punya usut, dia memang “kuat” tapi tidak ada yang sadar bahwa ia juga manusia, butuh tempat bicara, butuh saran dan penguatan dari saudara-saudaranya. Tapi ya sudahlah, dia telah pergi, karena kepedulian kami datangnya terlambat.

Satu lagi kisah, namanya si kedua, dia seseorang yang mungkin belum sehebat si pertama. Tapi dia punya tunas militansi yang baik, dia beraktualisasi dengan baik dalam jamaah dakwah. Dia sebenarnya tipe jundi yang penurut tapi juga kritis. Celaka tiga belas, kekritisannya tidak bisa diterima seniornya. Dia dianggap “sesat”, oh mungkin itu terlalu kasar, begini, dia hanya mencoba berpikir di luar kotak, dia hanya menjadi BERBEDA. Tapi itu tidak bisa diterima. Pada akhirnya si kedua merasa termarjinalkan di negeri sendiri, padahal di luar sana ia sangat cemerlang dan begitu dibutuhkan banyak orang (berbicara begini saya kira wajar saja, orang Indonesia kan memang hoby “membuang” bangsanya sendiri, akhirnya mereka malah berkibar di luar sana).

Si kedua merasa tidak berguna dan tidak dibutuhkan. Tapi dia tetap disini, itulah hebatnya. Hanya saja saya rasakan dengan pasti, dia agak berkurang semangatnya, mulai terdengar bisikan bisikan apatisnya, mulai banyak meragukan. Rabb jagalah aku, ia dan ia ia yang lain. Do’a itu terus saja saya lantunkan. Dan saya katakan pada anda, saudara2nya ada andil disini. Bukan perkara dia harus diberi posisi atau tidak, atau kalau ada yang dengan kejam bicara dia ingin posisi, tegas saya tampik TIDAK. Dia tulus, sungguh... saya bisa melihatnya, saya merasakannya.

Lalu inilah si ketiga. saya ceritakan kisah si ketiga ini sedari awal, dia adalah kader yang masuk pada kategori pelarian 3 K (kecewe, kecowo dan atau kecewa). Sejak semula saya katakan kepada saudara2 yang lain, jangan reaksioner, karena saya rasa dia butuh waktu. Waktu untuk merenungi salah dia, waktu untuk menimbang-nimbang kembali, waktu untuk didengar. Bukan dicerca, dihujat, dikata-katain “FUTUR ENTE”. Di judge didepan banyak orang, dipergokin saat bersalah, disindirin saat kultum. Saya pernah menjadi teman curhatnya disaat2 terberatnya itu. Saya sampai menangis memohon dia memafkan perilaku saudara2nya yang sebenarnya cinta pada dia, hanya cara mengungkapkannya kurang tepat. Saya sampai kehabisan kata-kata, kehabisan nasehat, kehabisan perasaan, karena nyatanya hari2 terberatnya juga menjadi hari2 terberat saya saat harus mendengar dengan kuping saya sendiri bahwa ia tidak lagi bisa percaya pada ikhwah, ia tidak merasa aman disini. Dia tidak menemukan ukhuwah itu. Yang dulu sempat ia rasakan. Saya keluarkan jurus putar balik, “oleh karenanya ukhti, tidak bisa menjeneralisir begitu”, ia tak bergeming. Ia lalu benar2 melangkah pergi. Saya sendirian dipojok hati, terduduk lemah dengan lampu yang suram, menangisi kepergiannya, bahkan memanggilnya lagi sudah tak berdaya. Saya katakan pada anda, justru dialah yang membawa saya pada tarbiyah ini. I'm really miss her, sungguh, masih perih hati saya mengingat malam-malam itu.

Tidak ada cerita tentang ke empat dan ke lima dan seterusnya yang hendak saya tuliskan, karena saya tak ingin sakit lagi mengingat-ingatnya. Saya hanya mau bilang jangan-jangan mereka futur karena kita. Mari renungkan kembali makna syuro dan kebebasan berpendapat itu lagi. Umar bin Khatab saja memfasilitasi anak kecil bernama Ibnu Abbas dengan pemikirannya yang paling berbeda justru di forum ahlu badar. Lalu ada apa dengan kita?

Atau bagaimana dengan ide menelusuri lagi materi2 tentang makna ukhuwah itu. Memberikan hati kita yang hangat agar nyaman buat saudara2 kita bersandar saat lelahnya, bahkan disaat kita lelah pula. ini tentang menyadari sisi kemanusiaan sesama aktivis dakwah. Mereka manusia juga yang punya hati, ingin dicinta, ingin disanjung, ingin dihargai, ingin didengarkan, ingin dimengerti untuk beberapa waktu saat mereka limbung.

Sampailah saya pada ujung kebisingan ini, kitalah jamaah manusia. Tetapi kita tidak boleh terlalu banyak salah. Karena kita aktivis dakwah, yang seharusnya lebih bisa menjaga “kesucian2” yang banyak itu. Ini bising. Karena telinga saya sakkit! demi mendengar kisah2 ke delapan dan kesembilan. Tolong jangan lagi ada kesepuluh, yang juga lalu kita namai dia “SI FUTUR”. Padahal (sekali lagi) JANGAN-JANGAN, DIA FUTUR KARENA KITA. Naudzubillah....

Di sendunya malam :’(
terbayang kembali
Wajah2 saudara terkasih seperjuangan
Yang sudah pergi, yang ingin pergi,
Yang berpikir akan pergi
dan yang masih terus bertahan.
Stay here with me, I love u fillah...