Rabu, 30 Maret 2011

Tentang anak2 (bukan kelucuannya, tapi nasib buruknya)


Sebuah renungan. Atas ketidakadilan dan nasib buruk anak bangsa karena punya pemimpin pandai bicara tapi tidak pandai bertanggung jawab dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang "pendiam". inilah ceritanya.

Tempo hari saya bertemu Rizki, dia pemulung, yang ternyata juga pengemis yang khas dengan baju jelek, kotor, compang camping dan korengan. Saya melihatnya malam itu memulung kardus di depan sebuah warnet, kemudian ketika saya berniat membelikannya roti dia sudah raib dari sana, Thingak thinguk saya cari2 dia ternyata sudah ngendon di depan depot soto yang terkenal di kota ini sambil menadahkan tangan dan menelan ludah beberapa kali. Terenyuh hati saya ingin menangis, tapi saya tahan, karena saya penasaran ingin mengetahui profil si Rizki. Saya tanya-tanya dia. Jawabannya dia Rizki telah berjalan hampir 20 KM tiap hari untuk mulung didaerah kampus, berumur sembilan tahun dan putus sekolah. Terlepas dari pendapat teman-teman yang mungkin pernah mendapati pengemis yang ternyata kaya, punya rumah dan tipi, tapi menurut saya ia si Rizki juga yang lainnya itu miskin, kalaupun tidak miskin benaran, mereka tetap miskin intelektual dan juga miskin mindset. Ini salah siapa? Siapa mau bertanggung jawab?

Tentang anak-anak, inilah yang membuat saya geregetan untuk segera menuliskannya. Masih tempo hari juga, saya mendapat undangan untuk hadir pada Konferensi Pekerja Anak: Advokasi Kebijakan untuk Mendukung Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) di Kabupaten Jember. Saya belum tahu akan membahas dan menghasilkan apa. Tetapi ini sekali lagi membuka mata saya lebih lebar juga membuat luka hati saya semakin menganga. Karena harus membaca realitas tentang keberadaan dan keadaan anak-anak di Indonesia dan di seluruh dunia.

Pernah saya mengikuti training pengkaderan yang diadakan oleh KPK, saat itu sesi perkenalan, semua peserta diminta untuk menggambar apapun yang dapat mendeskripsikan diri atau apapun yang sedang dipikirkan. Saya mulai menggambar bentuk-bentuk. Misalnya segitiga, maka saya menggambar kembali segitiga dengan ukuran lebih kecil didalam segitiga yang pertama, begitu pula lingkaran dan juga persegi. Maksud dari gambar itu adalah KEADILAN. Yang menjadi definisi keadilan adalah kebalikan dari definisi kedzaliman: meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ini artinya, seharusnya bangun segitiga itu ditempatkan pada bidang segitiga saja begitu pula dengan bangun yang lain.

Keadaan yang sedang terjadi di negara ini adalah kedzliman yang besar. Dalam training tersebut saya mengungkapkan kekesalan saya atas apa yang terjadi di negeri ini, terutama misalnya, anak-anak itu lemah, yang perlu dilindungi dan membutuhkan kasih sayang. Maka tempat mereka adalah rumah yang nyaman dengan kasih sayang penuh ayah dan bunda, bukan di lampu-lampu merah, bukan pula menggelar kardus-kardus kumuh di depan etalase-etalase toko, bukan pula menjadi pembantu rumah tangga, apalagi sampai ke luar negeri. Beberapa kasus malah mereka menjadi korban human traficking, yang “bernasib baik” akan dijadikan PRT (dengan sistem perbudakan tentu saja) dan yang bernasib buruk bisa jadi pelacur dan mungkin bahkan kehilangan nyawa. Inilah ketidakadilan itu.

“Masalah pekerja anak di Indonesia, sebenarnya merupakan persoalan klasik. Hanya saja jika pada tahun 1976 hanya 13,9% anak yang menjadi buruh, kini jumlah buruh anak bisa jadi sudah berkali--kali lipat yakni mencapai 80 juta orang, atau hampir 70% dari total penduduk.
Laporan yang disampaikan ILO dalam releasenya menyebutkan, sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan, praktek ijon, pelacuran pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak.

Menghenyakkan kita memang. Tapi yang lebih membuat geram, bahwa 3 juta dari 8,4 juta yang dilaporkan, ternyata adalah anak-anak Indonesia. Mereka terpaksa bekerja dan tak jarang harus melakukan pekerjaan yang membahayakan perkembangan mental fisik dan emosionalnya. Mayoritas dari mereka, bekerja di sektor pertanian yang tidak bebas dari penggunaan bahan kimia dan peralatan berbahaya atau di jermal-jermal yang tingkat bahayanya tidak saja bersifat fisik dan biologis. Sementara lainnya memilih menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga, pekerja seks dan pekerja pabrik.

Hasil laporan Badan Pusat Statistik terhadap survey pekerja anak di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006. Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari kaum perempuan yakni 1.734.126 orang dengan laki-laki 130.948 orang.” (dikutip dari www.indosiar.com).

Ini baru data yang “terdata” bagaimana jika ternyata jumlahnya lebih besar dari itu?. Pertanyaan ini tidak akan terjawab tentu saja (Di negara ini menghitung jumlah penduduknya saja tidak pernah valid). Lalu mana tanggung jawab? Dan siapa yang harusnya bertanggung jawab?. Berteriak kepada pemerintah hari-hari ini sudah sama dengan kau berada pada kapal yang karam, sendirian ditengah badai di lautan. Yang hanya bisa mendengar adalah Tuhan saja.

Mengeluhkan kepemimpinan mereka juga seakan menjadi rutinitas kita sebagai “orang biasa” yang tidak terlibat politik praktis apalagi duduk dalam posisi pengambil kebijakan, yang artinya adalah: cukuplah keluhan itu menjadi kambing hitam atas “ketidakmampuan” (atau mari kita jujur menyebutnya “ketidakmauan” bahkan “ketidakpedulian”) kita untuk berkontribusi. Sebagai muslim (yang sedang dan terus berusaha) produktif saya berucap na’udzubillah. Hanya kepedulian dan kerja nyata kitalah yang dapat membebaskan “anak-anak” kita dari cengkeraman ketidakadilan itu. Sekecil apapun, sesedikit apapun, mari perduli, bahkan pada apapun yang sepertinya jauh dari jangkauan kita (baca: isu pekerja anak ini).

Dalam suatu forum diskusi saya mendapat pelajaran dari seorang panelis yang mengutip Cofusius: “ketika kita ingin hidup selama setahun kedepan, tanamlah benih. Jika kita ingin hidup 5 tahun kedepan, tanamlah pohon, jika ingin hidup 50 tahun kedepan, tanamlah SDM”. Rizki dan anak-anak lainnya berhak menikmati masa kecilnya juga, masa yang adil untuk mereka, masa yang menentukan hendak jadi manusia macam apa mereka nanti. 50 tahun ke depan, generasi merekalah pemegang tampuk kepemimpinan. Semoga konferensi esok hari menghasilkan SESUATU untuk mereka. Agar tidak lagi muncul si budi kecil-nya Iwan Fals, atau si alif kecil-nya Snada, juga si Rizki kecil-nya anees.

Dalam kegalauan atas nasib anak bangsa. dan anak2ku kelak.

Love u Rizki kecil....

Jumat, 25 Maret 2011

Aktualisasi dan militansi tanpa judul*


*oleh Anis Rohmatillah (Kaderisasi Komisariat Hukum-Fisip 2007)

Menjadi (kan) kader militan adalah impian departemen kaderisasi terhadap semua kadernya. Kader yang dia rekrut kemudian dia bina. Kesemuanya berakhir pada militansi kader kepada gerakannya bahkan lebih dari itu, militansinya terhadap Islam. Membaca dan memaknai kata militansi bagi kader KAMMI tentu sudah jauh berbeda dengan pandangan para orientalis yang seringkali menggunakan kata “militansi” untuk mengambarkan segudang cerita (mengarang) tentang terorisme.

Kader KAMMI mutlak dan wajib ain memiliki militansi gerakan sebagai ciri khas yang melekat erat dalam setiap nafas hidupnya, karena nafas organisasi tergantung pada nafas kader-kadernya. Maka berbicara tentang militansi juga berbicara tentang bagaimana itu mungkin terwujud. Bicara tentang militansi adalah bertanya tentang seperti apa itu wujudnya. Jika ada yang bertanya begini kepada semua kader, tentu saja akan mendapati jawaban yang berbeda-beda. Tapi sekarang mari kita bicara militansi dengan kacamata aktualisasi diri.

Mari kita maknai Militansi dan aktualisasi diri satu persatu dahulu. Dalam kamus Bahasa Inggris, Militancy memiliki arti; semangat baja atau semangat berjuang. Imam Hasan Al Banna mengatakan bahwa semangat berharokah adalah keniscayaan dalam berdakwah dan merupakan penggerak cita-cita. Semangatlah yang menggerakan jasad kita untuk tetap berharokah dan beramal.

Sedangkan Aktualisasi diri dalam wikipedia didefinisikan sebagai “kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang dia bisa”. Jelas sudah apa yang dimaksud aktualisasi disini. Mengapa dari aktualisasi bisa menjadi militansi? Karena ketika kader mengaktualisasikan dirinya disaat itulah ia sedang memberikan yang terbaik bagi gerakan dakwahnya.

Sekali waktu ada yang bertanya, apakah militansi itu selalu PENUH dengan BEBAN dan AMANAH? Satu dua kali bisa jadi itu benar, seorang kader dakwah (baca: anak KAMMI) pantang mundur dengan amanah. Dan amanah memanglah sebuah beban yang juga merupakan sebuah keniscayaan yang akan dipanggul pundak-pundak kader dakwah. Bisa jadi juga pertanyaan itu tidak terlalu benar, karena sering terbersit dalam pikiran kader bahwa mereka yang amanahnya segudang adalah mereka yang militansinya tinggi. Mengapa ini menjadi salah? ini menjadi salah manakala beban amanah yang ditanggungnya banyak dan bejibun tetapi dia tidak memberikan kesempurnaan yang pasti dalam eksekusinya. Dia tidak beraktualisasi dengan total entah dengan banyak alasan tentunya, dari yang syar’i hingga yang “dibuat”syar’i, meminjam istilah akh Agus Supriyadi Unsoed “kader-kader zombi”, yaitu kader dakwah yang berjalan tanpa ruh dan semangat. Astaghfirullah tsumma na’udzubillahi min dzalik.

Selanjutnya, konsep aktualisasi diri yang berarti totalitas mendapat dukungan dari firman Allah ta’ala dalam surat almu’minun (23):8
     
Artinya: “Dan (sungguh beruntung) orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”

Jika semua kader mau dan berani memberikan aktualisasi diri kepada gerakan, niscaya targetan kaderisasi untuk mempunyai kader-kader yang militan akan segera tercapai. Karena ayat tersebut bicara mengenai profesionalitas untuk itulah kader militan juga akan terwujud manakala profesionalitas senantiasa dijaga dan dilakukan.
KAMMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, ada nilai luhur dan sangat mendalam saat para founding fathers kita membidani kelahiran gerakan ini dan kemudian menamainya KAMMI. KAMMI seharusnya sarat dengan pemuda-pemuda yang tak bisa diam (baca: aksi) dan oleh karenanya “pihak-pihak” yang berwenang sudah seharusnya membantu kadernya untuk dapat terus beraktualisasi. Contoh konkritnya adalah KAMMI sebagai Harokatut tajnid, harokah kaderisasi, demikian disebut dalam manhaj. Tiang kaderisasi adalah perekrutan, pembinaan dan pemberdayaan, maka kaderisasi tidak selesai pada tugas perekrutan dan pembinaan saja. Mereka harus bergerak aktif memberikan ruang aktualisasi diri kader dalam rangka pemberdayaan itu.
“Kegagalan” kaderisasi (yang mungkin ada) untuk mencetak kader-kader militan bisa jadi memang salah departemen itu sendiri, tetapi bisa jadi juga tidak (apakah anda tau seberapa banyak kata bisa jadi itu bisa terjadi dalam hidup yang tidak bisa ditebak ini?). Begini maksudnya, bagaimanalah kader akan terbentuk militansinya jika dengan gerakannya sendiri ia tidak kenal. Ia tidak tahu cara gerakannya (baca: organisasinya) mengadakan rapat, kegiatan dan bersidang misalnya. Namun, sebagai kader KAMMI penulis yakin kaderisasi KAMDA Jember telah lama melakukan itu, penulis-pun dulu pernah berada di departemen “basah” itu walaupun di tingkat komisariat. Tetapi terkadang yang menjadi ganjalan dalam perjalanannya adalah kader itu sendiri. Ketika kaderisasi telah memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi para kader untuk melakukan aktualisasi diri, para kader tidak menyambut gayung yang diayunkan departemen ini, sekali lagi tentunya dengan banyak alasan syar’i dan (dibuat) syar’i. Ibarat bertepuk sebelah tangan, pernyataan cinta ini tak dijawab dengan pasti, sayang sekali. Adalagi yang kemudian menyalah-nyalahkan proses tarbiyahnya, menyalahkan jadual liqo-nya yang tidak jalan, menyalahkan murobbinya bahkan menyalahkan teman-teman liqoatnya. Apakah salah menyalahkan mereka? Tidak juga, karena bisa jadi (lagi) itu benar adanya, untuk itulah perlu kerjasama kolektif dari semua pihak. Dari mulai kaderisasi yang punya kepentingan mencetak kader militan, murabbi sebagai perangkat tarbiyah kader, juga kader itu sendiri yang diharapkan “tahu diri” dia sedang menjadi target sasaran pencerdasan intelektual, ruhiyah dan jasadiyah (mungkin) sehingga terjadilah harmoni kaderisasi itu.

Kisah militansi sebagai kepentingan departemen kaderisasi saja (yang terdapat pada kalimat pembukaan) sebenarnya juga tidak selalu seperti itu, ada banyak calon kader yang memang dengan sengaja menceburkan dirinya dan dengan suka rela menjadi basah dalam gerakan dakwah. Suka atau tidak suka, militansi harus dimiliki atau (dipaksa) untuk dimiliki oleh setiap kader. Walaupun sebenarnya menurut penulis yang terbaik adalah ikhlas beraktualisasi dan bermilitansi, inilah yang penulis maksud dengan aktualisasi dan militansi tanpa judul. Karena dalam At- taubah (9):41 Allah Ta’ala sudah terlanjur menjanjikan yang terbaik bagi mereka yang militansinya tinggi. Sebagai muslim, kader atau bukan kader dakwah, seharusnya ngiler dalam urusan ini.
“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” Q.S At Taubah [9] : 41.
*tulisan ini juga memenangkan lomba essai milad KAMMI ke 13, hadiahnya "quantum tarbiyah" qiqiqiqqq, alhamdulillahhh ;D

Kamis, 24 Maret 2011

Futur itu salah siapa?


Sudah larut sebenarnya, tapi biarlah ini dalam rangka kepuasan batin. Bisa jadi ini curcol (baca: curhat colongan) tapi ini juga merupakan satu pelajaran, bermula dari segudang aktivitas kami sebagai aktivis dakwah. Hari berganti hari, berganti bulan, tahun-pun berlalu, tak pernah kami menyesal atau merasa terpaksa melakukan semua aktivitas ini. Tetapi kami juga manusia, kami adalah kumpulan manusia, bukan malaikat, itu kami sadari betul justru ketika sesuatu yang salah dan kurang tepat telah terjadi pada salah seorang diantara kami.

Ada yang dulunya aktivis kawakan, namanya si pertama, dengan ciri fisik dan profil diri yang sangat dominan, ia menjadi sangat terkenal dengan kesalehan pribadi dan sosialnya. Gerak langkahnya menjadi teladan bagi semua. Tapi angin berhembus, tidak ada yang istimewa dengan angin itu, karena seperti biasa angin itu pasti datang setiap waktu. Diminta ataupun tidak. Yang membuat angin itu menjadi berita adalah, bahwa angin itu ternyata berhasil membuat si pertama, yaitu salah satu dari kami itu limbung dan terjatuh, kemudian terbawa pergi. Tidak ada yang tahu sebabnya saat itu semua terjadi dengan mendadaknya, membuat semua tersedak tidak percaya, bahkan menangisinya memohon untuk kembali, tapi terlambat. Usut punya usut, dia memang “kuat” tapi tidak ada yang sadar bahwa ia juga manusia, butuh tempat bicara, butuh saran dan penguatan dari saudara-saudaranya. Tapi ya sudahlah, dia telah pergi, karena kepedulian kami datangnya terlambat.

Satu lagi kisah, namanya si kedua, dia seseorang yang mungkin belum sehebat si pertama. Tapi dia punya tunas militansi yang baik, dia beraktualisasi dengan baik dalam jamaah dakwah. Dia sebenarnya tipe jundi yang penurut tapi juga kritis. Celaka tiga belas, kekritisannya tidak bisa diterima seniornya. Dia dianggap “sesat”, oh mungkin itu terlalu kasar, begini, dia hanya mencoba berpikir di luar kotak, dia hanya menjadi BERBEDA. Tapi itu tidak bisa diterima. Pada akhirnya si kedua merasa termarjinalkan di negeri sendiri, padahal di luar sana ia sangat cemerlang dan begitu dibutuhkan banyak orang (berbicara begini saya kira wajar saja, orang Indonesia kan memang hoby “membuang” bangsanya sendiri, akhirnya mereka malah berkibar di luar sana).

Si kedua merasa tidak berguna dan tidak dibutuhkan. Tapi dia tetap disini, itulah hebatnya. Hanya saja saya rasakan dengan pasti, dia agak berkurang semangatnya, mulai terdengar bisikan bisikan apatisnya, mulai banyak meragukan. Rabb jagalah aku, ia dan ia ia yang lain. Do’a itu terus saja saya lantunkan. Dan saya katakan pada anda, saudara2nya ada andil disini. Bukan perkara dia harus diberi posisi atau tidak, atau kalau ada yang dengan kejam bicara dia ingin posisi, tegas saya tampik TIDAK. Dia tulus, sungguh... saya bisa melihatnya, saya merasakannya.

Lalu inilah si ketiga. saya ceritakan kisah si ketiga ini sedari awal, dia adalah kader yang masuk pada kategori pelarian 3 K (kecewe, kecowo dan atau kecewa). Sejak semula saya katakan kepada saudara2 yang lain, jangan reaksioner, karena saya rasa dia butuh waktu. Waktu untuk merenungi salah dia, waktu untuk menimbang-nimbang kembali, waktu untuk didengar. Bukan dicerca, dihujat, dikata-katain “FUTUR ENTE”. Di judge didepan banyak orang, dipergokin saat bersalah, disindirin saat kultum. Saya pernah menjadi teman curhatnya disaat2 terberatnya itu. Saya sampai menangis memohon dia memafkan perilaku saudara2nya yang sebenarnya cinta pada dia, hanya cara mengungkapkannya kurang tepat. Saya sampai kehabisan kata-kata, kehabisan nasehat, kehabisan perasaan, karena nyatanya hari2 terberatnya juga menjadi hari2 terberat saya saat harus mendengar dengan kuping saya sendiri bahwa ia tidak lagi bisa percaya pada ikhwah, ia tidak merasa aman disini. Dia tidak menemukan ukhuwah itu. Yang dulu sempat ia rasakan. Saya keluarkan jurus putar balik, “oleh karenanya ukhti, tidak bisa menjeneralisir begitu”, ia tak bergeming. Ia lalu benar2 melangkah pergi. Saya sendirian dipojok hati, terduduk lemah dengan lampu yang suram, menangisi kepergiannya, bahkan memanggilnya lagi sudah tak berdaya. Saya katakan pada anda, justru dialah yang membawa saya pada tarbiyah ini. I'm really miss her, sungguh, masih perih hati saya mengingat malam-malam itu.

Tidak ada cerita tentang ke empat dan ke lima dan seterusnya yang hendak saya tuliskan, karena saya tak ingin sakit lagi mengingat-ingatnya. Saya hanya mau bilang jangan-jangan mereka futur karena kita. Mari renungkan kembali makna syuro dan kebebasan berpendapat itu lagi. Umar bin Khatab saja memfasilitasi anak kecil bernama Ibnu Abbas dengan pemikirannya yang paling berbeda justru di forum ahlu badar. Lalu ada apa dengan kita?

Atau bagaimana dengan ide menelusuri lagi materi2 tentang makna ukhuwah itu. Memberikan hati kita yang hangat agar nyaman buat saudara2 kita bersandar saat lelahnya, bahkan disaat kita lelah pula. ini tentang menyadari sisi kemanusiaan sesama aktivis dakwah. Mereka manusia juga yang punya hati, ingin dicinta, ingin disanjung, ingin dihargai, ingin didengarkan, ingin dimengerti untuk beberapa waktu saat mereka limbung.

Sampailah saya pada ujung kebisingan ini, kitalah jamaah manusia. Tetapi kita tidak boleh terlalu banyak salah. Karena kita aktivis dakwah, yang seharusnya lebih bisa menjaga “kesucian2” yang banyak itu. Ini bising. Karena telinga saya sakkit! demi mendengar kisah2 ke delapan dan kesembilan. Tolong jangan lagi ada kesepuluh, yang juga lalu kita namai dia “SI FUTUR”. Padahal (sekali lagi) JANGAN-JANGAN, DIA FUTUR KARENA KITA. Naudzubillah....

Di sendunya malam :’(
terbayang kembali
Wajah2 saudara terkasih seperjuangan
Yang sudah pergi, yang ingin pergi,
Yang berpikir akan pergi
dan yang masih terus bertahan.
Stay here with me, I love u fillah...

Rabu, 23 Maret 2011

joging dan godaan2


Pgi Yng cerah hari itu. Hari yang baik untuk memulai dengan aktivitas yang berkeringat dan sehat (baca: joging). Setelah balapan tilawah dan mengantongi alma’tsurat, saya dan ika bergegas nyamber jilbab, jaket dan pasang sepatu. Joging nyokk bapak ibu adek2 (lahh, adek2nya ude pade tepar lagi dikamar- sutralah.. ). Baru keluar kosan, maunya jalan lurus eehhh, warung tetangga “sengaja” pamerin pisgor n ote2 yang ngepul2 keliatan gurih dan anget bangettt... kesalahan pertama: membeli beberapa gorengan bahkan sebelum joging dimulai... =_=”.
Kita pemanasan bentar sambil jalan, sebenernya niatnya ada banyak joging pagi itu. Selain buat hukuman karena tadi malem makan sebelum tidur dan juga sedang memaksa diri disiplin olga, joging kali itu juga tujuannya berakhir di suatu masjid sekitar 3 KM dari kosan buat syuro. Okelahhh gooo!
Lari pagi lari pagi (by bang haji) harusnya sontrek itu pas buat kami, tapi nyatanya saya lebih pilih "waiting for the end"-nya LP hhihiii. Habis pas lagunya semangat, buat joging tambah semangat. Karena ika bukan anggota syuro, jadilah kita sepakat berpisah (hhuhuuu) di bunderan mastrip, diaambil rute puter nyampe kosan, saya keep joging dengan pedenya menuju tempat syuro. Ngihuinya joging sendiran. Pake mp3 yang didengerin macem2 sampe2 jadi autis sendirian dijalan. Untung kaga nabrak puun ato tiang listrik.
Ada 2 segmen menarik pada joging pagi itu. Pas hampir nyampe lampu merah patrang ada mas2 pake baju rapi, jaket dan sarung tangan, tas laptop lemayan mahal sepertinya, diblakang motornya kaya ada matras kecil digulung gitu. Tasnya juga kelihatan penuh dan besar, ga lupa pake masker yang itu semua cukup untuk menggambarkan bahwa dia hendak pergi aga jauh dengan usuran yang jelas (maksud saya dia ga mungkin pemuda kampung yang usil nyuitin cewe2 kalu lagi lewat). Tiba2 dia menyapa dari belakang. Mulanya tetep autis, lhaa ndengerin mp3 hampir full volumenya. Eh saya cuekin dia ga nyerah akhirnya nyegat beberapa meter depan saya sambil ngomong (jujur waktu itu saya masih ga mudeng dia ngomong sama siapa dan ngomong apa hehehe, maap ya mas), habis itu pas deket saya baru ngeh, dia nanyain saya “telat ya mbak? Ko lari2?” (pertanyaan biasa), “mau saya anter?” (pertanyaan biasa kedua), dan jawaban saya teep sama geleng2 aja. “emang mau kemana??” (pertanyaan biasa ketiga maksa nih), saya jawab pendek “joging” sambil tetep lalu, ehhh dia ngejar lagi “emang dari SMA mana??” (GUBRAKK, SMA??!, mas ini matanya soang yak??? Ato berusaha menghina sayahh???) “huh!” saya langsung cabut... ehh dia senyam senyum ga jelas habis itu “pamitan”... dan inilah kesalahan kedua saya: baru sadar rok yang saya pake motifnya kotak2 cklat muda mirip sama seragam anak SMA, dan emang dandanan pagi itu aga girly pake jaket casual biasa, ga pake baju kebesaran seperti biasa. Phuhhh kena saya di isengin orang. Untung di jalan raya... kalu dia maksa saya nyerahin gorengan saya pake pisau kan saya bisa teriak kenceng n tukang becak pasti segera datang menolong hehehehh :D.
Selanjutnya, yang kedua. Waktunya pulang... jalan nyantai saja lah, toh tadi sudah lari 30 menit, kata Ina yang ambil blok kedokteran aerobik itu cukup bakar lemak. Akhirnya nyantai sambil FB-an dan sesekali bales SMS. Nyampe deh di jembatan kali bedadung, tepat depan TPA (bc: tempat pembuangan akhir) ada bapak2 nyorong gerobak sampahnya ehhh tiba-tiba (dengan semena-mena) bilang “mbak kok jalannya seperti laki-laki...” (dengan senyum inocent sok akrab ngebete-in gimana gitu) “whuaaa”... keki abis bo... di belakang saya anak2 SMA muhamadiyah lagi jalan juga (alamak muka awakkkk, pengen ta hanyutin di kali bedadung yang lagi deres2nya ituuhhh) T.T, tega nian itu bapak...  segera ambil langkah seribu.
Banyak nian kejadian penuh hikmah (walo nyebelin) pagi itu. Pertama , jangan beli gorengan sebelum berangkat joging, berat tau. Mending juga bawa air, untung ga pingsan tadi dehidrasi banget sedangkan toko masih pada tutup alhamdulillah nemu kios kecil dipojokan jual air mineral, God save me again alhamdulillah lagi.
Kedua, pake kostum juga harus ditimbang-timbang (emang aga kecil koctum pagi itu padahal jaket saya udah ada tulisan MOSLEMnya guede lho, Cuma emang model casual gitu, jadinya ngenomi (baca: kaya anak muda), biar kaga digangguin cowo2 iseng. Udah gitu emang harusnya joging untuk para akhwat kudu bawa temen, jangan sendirian. Tau sendiri tingkat keamanan sekarang suka ga ketebak. Carefull gals .
Ketiga, ini khusus buat sayah T.T, menurut saya berjalan itu paling enak ya cepat dengan langkah lebar dan tidak glenak glenuk plus megal megol, ntar dikira bebek lagi ambien lagi, juga mengundang pikiran2 jahat buat para cewe. Dengan alsan itulah cara jalan saya dibentuk (ehm, hendak mengingkari keadaan diri yang aga tomboy). Sebenernya peringatan macem ini pernah saya dapetin pas awal2 kuliah dulu, sebelum pake rok saya ya pake celana kemana2, suatu ketika pas azam buat berubah sudah dapet dukungan (baca: dibelikan ibuk gamis), saya pergi kekampus dengan memakia gamis dan (tetap) ransel dipunggung. Ehhh temen saya komentar (padahal masih jauh juga dari dia) “eh nes, gamis nya sih feminin, lhaa jalannya napa masih ngangkang gitu yak, kaya masa2 wae”...  GUBRAKK!!! (tengsin lagi dueehhh). Tapi gimana lagi ya, kalu dipaksa jalan “cewe” rasanya lebih capek dari biasanya, dan lagi sebenernya saya sudah berusaha full untuk itu, Cuma ya itu... masih belum menampakkan hasil sepertinya. Hefff sutralah, pokonya joging pagi itu bener2 bikin perut dan pala mules dua2nya, ya karena kesindir jadi ga enak, juga karena ngakak ada2 aja tingkah laku orang2 yang saya temui dijalan. Walhasil... yang paling ingin saya lakukan setelah joging justru menuliskannya, dan posting di blog saya. Hihihiiii biar ga keburu lupa. Lagian ini juga dalam rangka mendisiplinkan diri berkarya.... curhat di blog kan juga KARYA! Hihihiiii. alhamdulillahhh

^BERKARYA!^

Jumat, 18 Maret 2011

salsabila ngalor ngidul lagi: Kakiku bengkak: semoga menginspirasi


Kalau perempuan itu menyapu, kalau laki-laki itu memanjat genteng, kalau akhwat itu dibonceng, kalau ikhwan itu nyetir mobil, kalau wanita itu lemah tak berdaya, sejak dulu kala dijajah pria, lho??? hehehehe

Sudah lama saya ingin berkata kepada para akhwat, yang tentu saja berjenis kelamin perempuan itu, memotivasi mereka untuk bisa melakukan apapun yang mereka mau, karena sejatinya mereka bisa dan tidak boleh terbatasi dengan kata2 atau atribut apapun yang mereka pakai (baca: rok, jilbab, kaus kaki, lembutnya kulit, femininity). Ehm...Walaupun sebenarnya sudah sering saya “mengata-ngatai” mereka, maksudnya memotivasi mereka hehehe. Ini semua mengingatkan saya kembali akan sebuah kejadian di sore hari tahun 2008.

Kaki saya bengkak. Barusan lompat dari tembok setinggi kurang lebih dua meter. Gara-garanya anak2 kos maen badminton di lantai atas yang sekalian sebagai jemuran salsablia apartemen.. dan ‘kok’nya nyangkut di genteng tetangga.

Agak terpaksa juga sih naik2 tembok tetangga gitu, soalnya kok-nya pinjeman, sedangkan yang laen ga da yang bisa atopun mau manjat2 begitu. Akhirnya saya lagi yang harus turun tangan. Naik ke lantai 3 tetangga aga susah sebenernnya, tingginya 2 meter-an, bekal saya Cuma kursi plastik, sisanya usaha sendiri untuk bisa ke atas. Ada yang salah? Saya rasa tidak, karena panjat memanjat genteng bukan hal yang spesial buat saya, begitu juga mengganti lampu kamar yang mati (dan oleh karenanya harus menumpuk meja dan kursi di tengah2 kamar), yang aneh dan bikin saya lari cepirit eh terbirit birit justru kalau ada makhluk melata di kamar mandi (yiakssss!!!). eh, ada yang salah sebenarnya sore hari itu, saya salah mempraktekkan metode jumping buat turun dari genteng tetangga itu.

Ilmu memanjat dan loncat terutama saat mau turun yang saya dapat adalah jangan ragu untuk meloncat, posisikan kaki kita siap, dan saat tiba di bawah usahakan posisinya jongkok (kaki menekuk) agar tidak trauma otot2 kita. Tapi sore itu saya “ragu” itulah satu2nya kesalahan saya. Akibatnya kaki kanan terkilir pergelangannya, yang lebih parah lagi saat loncat posisi kaki tidak saya persiapkan, jadi jempol kaki pun tertekuk tiada ada ampun “OUCH!!! Heheh... i’m okay i’m okay” itulah kalimat saya saat tiba di bawah, sembari melambai dan memberikan waktu beberapa detik bagi otak saya untuk berbohong berkata bahwa saya okay dan tidak apa2 (apa coba bedanya). Nyatanya saya terlalu gengsi untuk bilang “waaa saya terkilir” lalu minta papah teman2, padahal pengen bangett...

Berbekal gengsi GEDE itu saya tetap berjalan (setelah melempar kok) “seperti biasa” tidak pincang atau meringis (padahal hati sudah bercucuran air mata), akhirnya teman2 terus bermain badminton dan saya mulai meringis terpincang2 saat menuruni tangga menuju kamar, karna sialnya kamar saya ada di lorong di lantai bawah “aduhhh sakitnya (mata mulai berkaca2). Masih gengsi saya tetep ga manggil tukang urut hingga keesokan harinya, yang akhirnya “kebusukan” saya terpergoki adek kamar yang saat itu liat saya Cuma di atas kasur. Dia manggilin tukang urut akhirnya, gengsi saya kemarin jadi ga ada harganya hehehh... dan itu memberi kenang2an seumur hidup jempol kaki yang ga bisa nekuk lagi houffff... :D.

Kenapa ceritanya tentang memanjat? Karena saya rasa tidak ada yang salah dengan itu. Perempuan manjat2? Tabu kale.... oh iya? Saya bukan penganut feminisme, tapi saya rasa ga masalah tuh kalau wanita, perempuan, akhwat, cewe bisa manjat. Atau menyetir, atau hiking, naik2 gunung, turun ke pantai basah2an masih tetep pake kaus kaki, atau sederet aktivitas “maskulin” lainnya. Karena faktanya itulah tuntutan jaman yang harus kita jawab.

Gals, Kadang orang menilai kita dengan lebarnya jilbab dan panjangnya rok kita, atau rangkap2nya jilbab kita dan itu kadang benar2 menjadi masalah buat kita. Itu semua adalah “keterlanjuran” yang sudah kita haruskan melekat pada diri kita, dan ga mungkin kita lepas dengan alasan apapun. Akhirnya kita gigih menolak beberapa aktivitas yang menurut kita akan merepotkan kita dengan segala “atribut” itu.

Mari kita tegaskan kembali, keberanian kita untuk tegas berkata BISA dan MAU dalam hal apapun tanpa merasa terhambat dengan semua “keterlanjuran” yang sudah kita wajibkan bagi diri kita itu. Karena kalau tidak, kita akan ketinggalan kereta jaman. Saya rasa sudah tidak jamannya akhwat berkata tidak untuk belajar naik motor (sengaja nyindir neh). Bukannya saya tidak mau direpotin kalau harus antar jemput akhwat, sekedar mengingatkan, sekarang jamannya waktu “memakan” semua milik kita, jadi kalau tidak cepat ya bakal dimakan: kesempatan kita, kebaikan kita, kinerja kita, targetan kita, semuanya. Siapa yang bakal boncengin adek2 anti kalau kami (yang tua2 ini) sudah lulus? Begitulah permisalan konkritnya (thanks Allah yanti udah mau dan bisa naik motor, mbak irul jugah, pio jugah, dije, yuni,lely, astin, iwa. Woi woi yang lain yng belom... hayooo, rimbiiii, imaaa.... septin... yang lain harap mendaftarkan diri, tuh motor saya bisa dipinjem).

Oia, Juga bukan jamannya lagi mengagumi akhwat yang bisa nyetir, kapan dong anti mau belajar sendiri. Ini juga keterampilan “maskulin” (yang sebenrnya lama2 ga maskulin lagi) yang belum jamak dikuasai akhwat. Hayooo.

Juga bukan jamannya lagi akhwat ogahan diajakin naik gunung, nanti kalau ada yang butuh bantuan anti di atas gunung gimana? Sedangkan anti ga biasa jalan jauh? Ga biasa jalan nanjak. Sepuluh meter jalan nanjak berdoa minta pingsan biar ga nerusin perjalanan (walahhhh) :D. Atau jangan anti termasuk yang berpemikiran: akhwat jangan joging, ntar ga enak diliatin. Hi, I tell u, itu karena ga biasa saja, kalau ga pingin jadi perhatian (jiah ge er nya) ya bangunnya pagian dong, saat masih gelap belum banyak yang brangkat joging. Anti kan biasa tuh bangun malem sebelum subuh, jadi mustinya ga susah melakukannya (tinggal niatnya aja seh) ;D.

Mari bersama kita berkata “SAYA ADALAH PEMBELAJAR YANG BAIK”. Dan oleh karenanya kita akan terus berkata mampu dan mau berbuat sesuatu dalam rangka belajar itu. Akhwat itu kuat, bisa sangat kuat, dan nyatanya kita memang kuat. Ya, silahkan menangis jika memang diperlukan, sama sekali tidak dilarang. Menangis itu mencairkan hati yang kaku. Tapi sudah jangan lama2 menangisnya, juga jangan lama2 mikirnya untuk merasa tidak bisa karena kita perempuan. Jangan membatasi diri dengan garis2 yang sengaja kita buat, karena garis2 itulah sejatinya yang membunuh kita. Pembunuh kebaikan, kreatifitas, kecerdasan, kapabilitas kita. Kisah panjatan saya itu sejatinya berangkat dari mindset saya yang sudah lama saya setting untuk berkata “aku bisa” (bener2 ga ada maksud pamer, Cuma berbagi motivasi saja). Saya sudah lama berpikir akhwat itu bisa ngapain aja, ngobrol lama bisa, diajak mikir “berat” bisa, bersih2 rumah juga bisa, masak apalagi (oh plis deh ada yang masih belum apal bumbunya sayur asem loh! ;D), tapi masang lampu juga bisa, diskusi politik juga bisa eh mau juga, mengganti popok bayi juga bisa.

oia saya tambahin dikit, jadi baru inget yang mau saya sampein setlah ngobrol sama si hamim eha, bahwa semua kemampuan (baca:Bisa) kita itulah yang akan mengantarkan kita menjadi sebaik2 manusia, khoirukum anfauhum linnas, sebaik2 kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain, begitulah indah ajaran kekasih kita Muhammad Saw. ia mensabdakan kalimat itu dengan tidak ada bias jender ataupun usia. karena menjadi bisa artinya menjadi bermanfat bagi yang lain, bukankah itu menyenangkan????

Gini lo ukh, semuanya berawal dari berkata “BISA” lalu secara otomatis otak, saraf dan sel2 tubuh kita akan mendukung kita untuk bisa. Jadiiiii.... jangan memarjinalkan diri sendiri mulai saat ini. karena nyatanya.... anti tuh BwHISA BHWANGEEDDHH!!!!! Ya nggak??
Yuuuk ;D

Malam 16 maret 2011
Berusaha belajar disiplin berkarya

NB: komeng dari mbak hamim, mbak I de le le di FB:
HaMim Eha benar jika dalam berkarya dan menjadi manusia yang bermanfaat itu tak mengenal usia maupun kaum Adam ataukah Hawa,..tapi hal yang sangat krusial dan rawan terjadi adlah egoisme kita(read: perempuan) yang kadang tak mau dianggap remeh, sehingga kita bertindak seperti mereka (read: kaum Adam). Padahal perlu kita sadari bahwa memang ada sisi yang kita (jika bisa) menghindari berlaku seperti mereka....ehm, meskipun otakku mau keluar dari tempurungnya ketika aku merasa terbatasi, tapi hatiku terlalu bijak bahwa aku sadar bahwa(sekali lagi) bukan dibatasi tapi dijaga izzahnya...apalgi banyak mata yang melihat kita...kecuali hal-hal darurat, semoga ini menjadi pembelajaran dan pengingat bagi kita semua....insya Alloh
23 hours ago · Like

Aneesrohmat Salsabilaisme oke ukhti, mindframe tiap orang memang berbeda, dan kebijakan hati anti adalah juga warna yang penting didunia ini :). syukriya ;)
23 hours ago · Like
HaMim Eha berharap menjadi manusia yang beruntung dengan saling mengingatkan, meski kadang rasanya "agak sakit" jika cara mengngatkannya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan,..tapi inilah nikmatnya...salaing memahami,..I love u mbak..
14 hours ago · Like

Aneesrohmat Salsabilaisme luf yu too, maaf kalu ada yang menyakitkan :)
13 hours ago · Like

Nurindah Yokantina Sepakat.. Sepakat...
4 jempol smw q angkat nih bwt yg nulis note ini...
N bwt hamim eha... Siip, akhwat sih akhwat,n pasx "akper" kali ya..,but insya Alloh smg izzah qt kn ttp trjga slmax..amin
ada yg namax izzah ta? Enak bnget tuh djagain.. L...See More
13 hours ago · Like
HaMim Eha d(",)d,...aq oke^^ koq mbak...maksudq ne koment yang terakhir tadi menceritakan tentang fenomena bahwa mang kritik itu ndak enak rasanya , ...sedikit menyakikan kadang..tergantang orangnya jiuga sich...ehm nurindah salam kenal
13 hours ago · Like

Aneesrohmat Salsabilaisme Hihìhi. . Swiph lah, nurin itu termasuk 'lelembut' d jember ni dk,heheh,cuc0k ni keknya huhuhu. . .
12 hours ago · Like

Ribut Hadi Sutrisno Semuanya punya porsi yang sesuai kodrat,cz Allah maha Adil...
11 hours ago · Like

Aneesrohmat Salsabilaisme iya
11 hours ago · Like

Irma Windasari hemm..nduk,ane jd inget akhwt2model ntu d jamanq dl-bentar cb tak panggl 'irmeee,diaaan oestoporosis,mbak yuu,munipee,ruliii,aniiis,listaaa,mbak niitaa,mbak atuuunn' weits msh bnyk yg blm kepanggil nih..
10 hours ago · Like · 1 person

Aneesrohmat Salsabilaisme hihihi, ojo akeh2 mbak, menko ambruk FB ne, kangen mb Wahyu Nurdiasih Nurdiasih, mb Rully Febrianti, mb Muhtamatun Solikhah, mb Thee An, mb Nita Fuji Kosmasari, wes lah poko'e inspirasiku kabehhhh... akper2 lulusan (kampus dakawah) jember yunifersiti hihihi
10 hours ago · Like

Irma Windasari memang betul izzah hrs d jaga dan qta jg pny porsi masing2.makin qta kuat spt yg pnulis sebutkan insya allah smakin qta pandai menjaga izzah+memainkn peran sesuai porsi.hal tsb akan sangat brpengaruh ktika qta telah trjun d khidupan nyata.yg dpt di garis bwhi dr statement note d atas sbenerx adalah ttg penggunaan ptensi qta scr maksimal,brusaha skuat tnaga sblm brtawakal+memahami tiap inti kecil potensi wanita yg dr inti kcil itulah kelak wanita menjadi penentu kmajuan jaman. lihat buku keakhwatan 1 cb--keluarga muslim yg sehat,kuat brawal dr akhwt yg shat+kuat.krn dr hal kcil spt menyiapkn mkanan bwt keluarga-kalo qta ga tau kmposisi ksehatan makanan-maka bs dipastikan keluarga pun ksehatanx jg trganggu.
10 hours ago · Unlike · 2 people

Irma Windasari di stiap pmimpin dunia (laki2) d blakang mreka ada so2k wanita kuat.sbut saja rasul saw dgn khadijah yg brdiri tegak di tngah siksaan ato aisyah yg cerdas luar biasa yg tak malu menunggang onta brlari.ingat-kmampuan qta menjaga izzah+brperan sesuai porsi akan smakin baik jika di barengi dgn bnykx latihan. kadang qta membuat ksalahan yg mgkn dpt menurunkan izzah qta tp dr ksalahan itu ane yakin ntu akhwt sdang mengasah kmampuan ttg cara menjaga izzah-yg menjadikanx smakin peka dan kuat.
10 hours ago · Unlike · 1 person

Aneesrohmat Salsabilaisme wejangan mb Irma yang selalu ku ingat dan ku pegang sampe sekarang adalah, otak kita ini terlalu kosong untuk merasa tidak kuat berpikir lagi, otak kita ini belum penuh sempurna kita gunakan, jadi terus belajar dan berkata bisa. use ur OTAK properly! hihihi :D
8 hours ago · Like

Laily Amah Faizah Salsabila panjat memanjat???dlu wktu SD,,tiap hr q manjat phon jambu besar dpn rmah...
takut se...tp asyik pas kena angin phonx goyang2...serem2 gmn gt..
akhrx ktagihan tiap hr manjat phon...

skrg pngenx bsa nyetir mobil ky'mb'anis...he...
...See More
3 hours ago · Like

Aneesrohmat Salsabilaisme sik sik, we iso manjat2 to nduk! weh, yo pas dadi pewaris peradaban salsabila, wkwkwkwk. tibake gayane tok sok kalem, masa lalu n njerone preman pisan hahaha, sulell sulel.... :D

Kamis, 17 Maret 2011

Ukhti afwan ana mendzolimi anti (bongkar2 fail lama) ^_^d


Ukhti afwan ana mendzolimi anti

Punya temen yang baik, suka memberi, suka nanya kesusahan terus nawarin bantuan, suka memandang sayang, suka kasih nasihat, suka di curhatin, suka ndengerin apa ajah –penting ga penting- tentang kita, yang suka inget ultah dan kasih kejutan, yang suka prihatin kalo kita kena musibah, yang suka nolongin ketika butuh kapan ajah, yang tau kalo coklat itu makanan favorit kita+suka ngasih coklat juga!, yang mau ngertiin kita,,, dan lain lain lain lain lain yang buaik buaik tentang seorang temen, yang bahkan kita baru kenal selama dua kali ultah kita.

Heran gituh, dia jelas ga kepingin saya jadi isterinya dengan kebaikan2 yang sering dia tunjukkan itu, lah wong dia juga lagi cari suami –sama kaya saya juga, ups!- ehm maksudna dia juga cewe, juga ga mungkin PeDeKaTe-in saya buat di jadi-in sama kakanya, lha wong kakanya juga baru melahirkan kemaren... pokonya sering banget saya dibuat terheran-heran Cuma karna dia bilang:
- Ukhibbuki fillah[I] atau
- anti adalah inspirasi buat ana,
- ana selalu semangat liat anti yang semangat, ato
- anti tuh kalo ga dateng pertemuan,,,ana kangen...
- subhanallah anti tuh ....
- wa...h selamat yaaa, afwan Cuma bisa kasih ini,
- antum butuh apa? Ohh jam delapan malem, iya ana bantuin
- sini biar ana dulu yang bayarin
- de el el
padahal saya Cuma seorang akhwat yang kebetulan jarang sekali lupa nempelin senyum di wajah, ato hampir ga pernah keberatan bawa segudang cerita lucu buat persiapan ktemu akhwat lainnya. Saya ya Cuma seneng ga diem + "muter-muter" saya jadikan hobi, padahal saya juga kadang2 suka futur, padahal saya juga sering secara diem2 ato rame2 nangis dan bersedih serta... eh bentar dia kirim SMS nih..... tuh kan, taujih lagi, perhatian lagi,,,
ukhti afwan ana mendzolimi antum,

aneh justru ketika dia yang baik sekali itu mulai memasuki kehidupan saya dengan segala kebaikannya, dengan kebaikannya yang baik dan banyak itu, saya juga merasa kurang nyaman –bukan tidak nyaman, karena bukannya me-Muna kan diri karena dah terbiasa sama kebaikannya saya kadang jadi sdikit b'harap ketika ga kunjung tiba kejutan2 darinya- dengan segala kebaikannya yang lagi2 baik sekali ituh (nah lo bingung kan? Habis dia baik banget sih!).

ya sudah lah, ukhti afwan ana mendzolimi anti...
pernah suatu ketika dia saya ultah, udah pasti dia kirim SMS met ultah, trus di susul dengan bertubi-tubi kado dan ga lupa taujihnya, truz harapan2 yang kalo ditulis di hape ga muat (ya iyalah layar hape segitu imutnya!). itu pertemuan eh ultah pertama smenjak ktemu dia. Oia + coklat! Hmmmm....

trus giliran dia ultah malah saya lupa bahkan, ya deh saya ngaku, saya ga tau hari ultahnya dia tuh kapan! Bahkan suka sering lupa nyebut rumahnya Bondowoso apa Situbondo abis sama sih! (hampir sama kan? Pasti yang baca ini juga bingung kan? Masa sih ga bingung, pdahal kan hampir sama, yang bener ga bingung, saya ajah suka bingung, pokonya bingung, jadinya salah sebut terus, dan ga bisa bedain gituh). Nih saya abis daapet coklat lagi dari dia, sambil makan coklat nih.
Tuh kan... saya ini jahat sekali. Iya sih emang saya kali ya yang ga perhatian orangnya. Tapi Emang cetakan deh, abis dari dulu juga saya ini jarang sekali perhatiin hal2 yang kecil2 dan titi2 gituh, lha wong ultah anggota kluarga ajah kadang suka lupa!

Trus kmaren pertengahan Oktober alhamdulillah Allah yang Rahman masih kasih saya kesempatan melewati hari bersejarah itu lg. nah dapet lagi tuh coklat plus taujih, plus pelukan hangat, plus plus plus plus.....
Malunya sayah...

Dulu pas masih SMA-SMP pernah juga ngrasa begini, ya gitu juga, saya kurang nyaman! Tapi saya tetap berterimakasih, saya tetap ga mau jadi orang yang ga tau balas budi, tapi saya emang sukanya temenan ya yang biasa ajah, ups! Dia itu bukan sekedar temen, dia sodara sayah. Tapi tetep ajah, semua pembicaraan kita jadinya aga kaku, candaan saya sama dia juga ga bisa se-cair sama akhwat laen, dalam arti jadi kikuk sendiri, trus jd serba salah. Padahal biasanya kalo kbetulan lagi berdua, ato lagi ngobrol bareng dia itu yang perhatiiiiiiiiiiiin say bangeeettt, tuh kan sapa yang ga kikuk!. Rasanya hubungan tuh jadi ga... apa yah... ya gitu deh ga asyik ga kaya guyon bareng tmen2 yang "gila2" laennya. Gitu deh pokonya, masa sih ga bisa ngrasain jugah...
Ya sudahlah saya memang jahat, kadang pernah saya coba buat "pura2 ga merhatiin dia" (duh saya jahat banget ya). Biar apa ya, ya biar dia tuh cuek dikit, eh bukan cuek sih, biasa ajah sama saya gitu, tapi enggak bisa! Dia tetep baik! Ya yang kaya tadi itu! Hhh sebel ga sih (lho?) ehm Astaghfirullah... ternyata dia itu emang baik, biar kita tinggalnya ga sekompleks, tapi dia itu....... wes pokonya gitu deh....

Ya sudahlaah, akhirnya saya Cuma bisa Istighfar atas KEJAHATAN saya + selalu bersyukur dapet sodara kaya anti dengan segala KEBAIKAN anti. Juga Cuma bisa BERDO'A semoga Allah Sang Empunya segala kebaikan, membalas anti dengan kebaikan yang lebih baik lagi lagi lagi lagi... dan sambil tetap menganugerahi saya dengan kebaikan2 pula.

Ukhti ini saya dedikasikan buat anti, janganlah anti buat saya berdosa dengan sikap saya yang ya gini ini, jangan bikin saya mendzolimi anti plis... anti tuh baik banget... saya jadi malu ktemu sama anti....
Tapi gimana caranya??? Oke deh taubat! Saya bakal perhatian sama anti, tapi sulit sekali jadi orang yang perhatian...
Ya wes, janji insyaallah, bakal lebih perhatian lagi lagi lagi lagi

Tapi sebelumnya, ana mohon maaf, ukhti afwan ana telah mendzolimi antum......

Memory kedinginan abis ujan
Kecapekan abis wira-wiri
"Ukhti, bolehkah kupanggil kau
Cahaya yang Indah
Karena itulah arti dari namamu
Itu kalau kau ijinkan..."
Oia anti ultahnya 6 juli '87 kan??

Senin, 07 Maret 2011

Do’a romantis ayah di baitullah untuk kekasihnya


Do’a romantis ayah di baitullah untuk kekasihnya: ibu.

Ayahku adalah seorang yang ulet, gigih berjuang, cerdas, manis juga, yang pasti ibuku jatuh cinta pada ayah justru bukan karena semua itu. Waktu itu jamannya perjodohan, jadi tetangga depan rumah ibuku punya seorang kawan yang tinggal di desa seberang, dan kemudian mempertemukan keduanya. Alhamdulillah, hingga hampir 40 tahun mereka bina rumah tangga, masih ada cinta diantara keduanya.

Siang itu, siang ketika aku, ibu dan adik perempuanku berada di kamar ibu. Suasana begitu ceria, penting sekali karena tidak ada pria disana, baik itu ayah, mas, atau suami adikku. Adikku yang sedang hamil sekitar 6 bulan berbicara tentang kebutuhan nutrisi dan lain-lain, aku sambil wara wiri dapur-kamar0dapur-kamar karena sedang menunggui spaghetiku masak menimpali sesekali. Aku yang sudah lama tak pulang akhirnya bertanya bagaimana keadaan ayah akhir-akhir ini. ibu bilang tak terlalu bagus, berbagai terapi yang ia jalani tak begitu membuahkan hasil, hasil yang setidaknya menjadi lebih ringan rasa sakit yang diderita ayahku akibat kanker di ususnya. Ibu berkata kamu ga akan tega saat melihatnya perih menahan rasa sakitnya setiap malam. Itu membuatku berkaca-kaca. Im sorry mum, still can’t do anything for you and him...

Membayangkan masa muda mereka lewat cerita-cerita mereka adalah keasyikan tersendiri bagi kami anak-anaknya. Betapa diawal-awal pernikahannya ayah pernah tak sanggup memberi ibu uang belanja, sehingga ikan asin dan krecek (kerupuk mentah) the only menu yang mereka punya harus dibakar untuk dapat dimakan. Betapa mereka harus mengayuh sepeda onta-nya untuk sampai ke SD tempat mereka mengajar di sebuah desa di Jombang. Cerita-cerita masa muda yang penuh inspirasi selalu bisa kami dapatkan dari mereka.

Ibu, lahir dari keluarga kaya, tokoh dan oleh karenanya ia menjadi puteri ayu dari keluarga yang terhormat. Tidak seperti ayahku berasal dari keluarga petani. Miskin. Punya sapi dan beberapa petak kecil sawah tidak membuat derajat ayahku menaik dimata kedua nenek kakek dari ibu, itu ayah rasakan diawal-awal pernikahannya. Beruntung ayah lulusan pondok darul ulum Jombang, sedikit prestise aku rasa, tapi tetap saja miskin. Berbeda dengan pakde bude bulek dan paklek-ku yang jodohnya (kudengar2) adalah minimal anak tokoh lah. Ayah berbeda. Itulah yang membuatku berbangga. 
“Nasib” Ibu sebagai menantu juga ternyata tak terlalu mujur bagi ibu. Itulah yang ia ceritakan pada kami. Nenek dari ayahku tidak bisa terima mantu dari “muhammadiyah” (ayahku lahir dan besar dikalangan NU, walau selanjutnya ia malah jadi Majelis Tabligh Muhammadiyah Mojokerto ^_^). Dari mbah putri (begitu aku memanggil nenek dari ayah) selain sinisme “aliran”, ibuku terkena “sial” karena lahir sebagai anak orang kaya yang tidak punya keterampilan rumah tangga, masa kecilnya yang terbiasa dengan rewang (pembantu: jawa.red) semenjak kecil, memberi ibu pelajaran “tidak terampil masak” (ku pikir Cuma anak jaman sekarang saja yang begini ). Jadilah ibuku bulan2an mbah putri saat ayahku memboyong ibu ke kampung halamannya.

Beberapa waktu kemudian ibu hamil anak pertamanya, dan lahir... namanya alfi, tentu saja ia perempuan, karna namanya yang cantik itu. Ibu bercerita kala itu, alfi adalah anak yang sempurna. Cantik, mancung, berkulit kuning langsat macam ibuku, berambut ikal tebal juga macam ibuku, matanya indah lolak lolok macam ayahku, badannya seger sehat sekali. Namun nasib dan takdir tak dapat ditolak, alfi berumur 2 bulan jatuh sakit. Batuk2 tak henti2. Sudah diperiksakan dan diberi obat oleh dokter, sedih kedua ayah dan ibu nomer satu-ku sedikit terobati. Hingga suatu malam, alfi batuk2 tidak berhenti. Badannya menegang, ibu nomer satu-ku yang panik segera memberinya sirup dari dokter. Pikirannya simple saat itu, jika diberi lebih banyak obat mungkin akan cepat sembuh. Manalah ada hati seorang ibunda yang tega melihat anaknya sakit tak kunjung sembuh... seingat ibu saat itu ia beri satu sendok makan untuk alfi... setelah menangis selama 2 jam, ia terdiam. Mungkin tertidur, mungkin juga istirahat. Alfi seharusnya bangun, itulah harapan ayah dan ibu. Ibu membangunkan alfi, tapi naas, kontrak hidup dan takdir alfi memang hanya sampai umurnya yang dua bulan itu. Alfi yang cantik itu meninggal pada malam itu. Terpukul sekali ayah dan ibu nomer satu-ku. Pernahkah kau menjadi ibu? Atau punya ibu? Atau seseorang yang kau anggap ibu? Tahukah kau hancur leburnya hati ibu itu saat mengetahui anaknya telah tiada?. Yang lebih mengharukan lagi, kejadian terakhir yang seakan-akan menjadi “penyebab kematiannya”adalah tangannya yang sepenuh hati menyuapkan obat ke mulut mungil putrinya....

Apa yang ada dalam pikiran ibu saat itu adalah dunia tidak adil. Tidak pada dirinya, juga tidak pada putrinya. Putri pertamanya yang secantik rembulan, buah cintanya yang satu-satunya itu meninggal. Meninggal karenanya, dengan tangannya sendiri ia “membunuh” putrinya. Ibu nomer satu-ku pulang ke rumah ibunya. Hari-hari selanjutnya adalah kesedihan, kesepian dan rasa bersalah yang mendalam. Ibu nomer satu-ku depresi. Menurut cerita mbah tun (nenek dari ibuku) saat itu ibuku bahkan menggendong guling bayi dan me-nina-bobokan-nya layaknya itu adalah si cantk alfi. Bencana. Celaka.

Apa yang ayah nomer satu-ku lakukan? Ia adalah tipe pria pendiam yang sabar dan ulet. Istrinya yang cantik itu, yang ia baru kenal saat di kamar pengantin itu ia rawat dengan baik. Ia jaga, tak pernah ia cela. Tidak juga ia marahi. Ayah terus memotivasinya. Hingga ibu... “sembuh” . Ia kembali memiliki semangat hidup. Moving forward, dan dunia memang belum berakhir. Mereka toh masih muda, layak untuk mencoba kembali. Dan alhamdulillah lahirlah mas Kamil Amrullah yang kemudian menjadi “anak pertama”mereka, Anis Rohmatillah (aku) menyusul kemudian, dan terakhir Alfi Rohmatillah (nama alfi kembali dipakai). Sakit hati itu telah hilang. Kedua ayah dan ibu nomer satu-ku cintanya memenuhi rongga nafas kami.

Ibu adalah cinta ayah, dan oleh karenanya ia mnejadi pembela terdepan saat ayah terfitnah di kantornya, atau di sakiti oleh tetangga yang usli. Karena sifat dasar ayah yang pendiam, ia tidak mudah meluapkan emosi, lain halnya dengan ibu yang sangat “emosional” dan “berani”. Tanyalah kepala dinas atau walikota periode mana yang jika ia tidak adil tidak dapat surat kaleng (dari ibuku). Luar biasa kesetiaan dan pembelaan ibu kepada ayah, pria manis dan ulet yang baru ia kenal setelah ijab qobulnya itu.

Ayah tidak romantis sama sekali, tetapi kenyataannya sering juga membelikan ibu gelang emas atau asesoris perempuan lainnya. Walau seringkali gelang itu kembali tergadai untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga (dan ibu tidak pernah mengeluh, syukurlah ia tipe perempuan yang lebih suka roti sumbu _singkong rebus.red_ dari pada keju).

Oh ya aku lupa menceritakan bagian dimana kini keluarga ayah dan ibu-lah yang justru lebih sukses dari pada saudara2 yang lain. Hmmm... paling tidak sementara ini lebih sukses dari anak2 mbah tun yang lain lah. Aku tidak punya hak mencela keluarga pakde bude dan paklek bulek ku, tapi lihatlah, ingin kukatakan pada dunia, terimakasih atas celaan kalian, itula pecut bagi ayahku untuk maju dan meraih semuanya!. Momen pembagian warisanpun tidak merisaukan ibuku, karna ibu tau, dalam keluarga ini anak lelakilah yang spesial, tentu saja mendapat bagian (wasiat dan pemberian2) yang lebih banyak dari mbah tun. Ibu bilang, saat itu mbah berkata “bagianmu adalah ‘pekerjaan’ suamimu dan motor ulung (butut jaman dahulu yang sekarang sudah ga ada) dari ayahmu”, that’s all . Ibu tersenyum lega dan berkata dalam hati terimakasih bu. Dan tersenyum kembali saat teringat bahwa “nasib baik” sedang menimpa keluarga kecilnya di Mojokerto. Toh nyatanya warisan mbah kakung (dari ayah) juga lebih lumayan bisa dihitung: beberapa hektar sawah dan tanah rumah. Lumayan kan... (ternyata ayah adalah anak kesayangan mbah putri, karena ia yang paling rajin, yang paling pintar dan berbakti).

Kini usia mereka tak lagi muda. Ayah 51 dan ibu 52. Mereka berdua memang terpaut satu tahun. Tapi itu kembali tak jadi soal. Asalkan saling mencinta dan solat tepat waktu juga puasa sunnah dan tahajud tiap malam, sebuah keluarga pasti diliputi barokah. Itulah yang mereka ajarkan pada kami. Trimakasih ayah ibu.
Separuh abad usia ayahku, kami tak pernah menyangka ternyata selama ini ia mengidap kanker yang juga baru disadarinya. Kami semua bersedih, karna ternyata sudah masuk stadium lanjut. Tindakan medis semacam bedah juga sudah tidak memungkinkan karena ini jenis kanker yang langka. Kehidupan kami memang sangat cukup bahkan kadang berlebih, tapi tetap saja biaya berobat ke luar negeri tak sanggup kami penuhi. Adalah kami dengan berbagai macam terapi sekarang ini.

Tahun lalu, saat kami belum tahu ada kanker pada tubuh ayah, ayah dipanggil-Nya lagi ke rumah-Nya yang mulia. Tangis haru mengiringi kepergiannya yang kedua ke Makkah al mukaromah, karena saat itu pun sudah hitungan tahun ayah mengidap komplikasi penyakit gula dan kolesterol. Maka kami sungguh tak tega melepasnya pergi. Tetapi ia harus pergi, selain karena keinginannya, ia juga mengemban tugas sebagai pemimpin kelompok jamaah haji. Amazing, dua kali naik haji ayah tidak pernah membayar ... :D nikmat yang manakah yang kan kami ingkari...?.

Ada segmen menarik siang itu saat ibu bercerita tentang ayah selama aku di perantauan. Ia bercerita tentang salah satu do’a ayah. Do’a yang begitu menyentuh, yang meluruhkan persendianku, do’a yang tak pernah ku sangka. Do’a ini do’a tentang cintanya. Cintanya yang dalam terhadap istrinya. Anak2 adan cucunya tentu saja sudah masuk list do’anya, tapi yang ini berbeda. Aku saja sampai iri.

Ibu bilang “waktu ayah naik haji, ternyata ayah sempat berdo’a “matikanlah aku bersama istriku, ibu dari anak2ku””. Ayah curang. Mengapa berdo’a sepeti ini, seperti hendak meninggalkan kami cepat-cepat . Kanker ayah, dan sakit jantung ibu tentu saja mempengaruhi pemikiranku. Akankah... akankah dan banyak lagi akankah yang terngiang2 di benakku. Padahal aku belum pula mampu membalas budi keduanya.

Karena aku pun telah berjanji pada mereka, pada diriku sendiri, juga pada Allah, tak peduli seberat apa, masa tua ayah dan ibu adalah bersamaku. Semoga Allah mengabulkan pula pintaku, disamping pinta romantis ayah tadi.
Ayah.... ibu.... I ove you, hamesha and forever....