Senin, 07 Maret 2011

Do’a romantis ayah di baitullah untuk kekasihnya


Do’a romantis ayah di baitullah untuk kekasihnya: ibu.

Ayahku adalah seorang yang ulet, gigih berjuang, cerdas, manis juga, yang pasti ibuku jatuh cinta pada ayah justru bukan karena semua itu. Waktu itu jamannya perjodohan, jadi tetangga depan rumah ibuku punya seorang kawan yang tinggal di desa seberang, dan kemudian mempertemukan keduanya. Alhamdulillah, hingga hampir 40 tahun mereka bina rumah tangga, masih ada cinta diantara keduanya.

Siang itu, siang ketika aku, ibu dan adik perempuanku berada di kamar ibu. Suasana begitu ceria, penting sekali karena tidak ada pria disana, baik itu ayah, mas, atau suami adikku. Adikku yang sedang hamil sekitar 6 bulan berbicara tentang kebutuhan nutrisi dan lain-lain, aku sambil wara wiri dapur-kamar0dapur-kamar karena sedang menunggui spaghetiku masak menimpali sesekali. Aku yang sudah lama tak pulang akhirnya bertanya bagaimana keadaan ayah akhir-akhir ini. ibu bilang tak terlalu bagus, berbagai terapi yang ia jalani tak begitu membuahkan hasil, hasil yang setidaknya menjadi lebih ringan rasa sakit yang diderita ayahku akibat kanker di ususnya. Ibu berkata kamu ga akan tega saat melihatnya perih menahan rasa sakitnya setiap malam. Itu membuatku berkaca-kaca. Im sorry mum, still can’t do anything for you and him...

Membayangkan masa muda mereka lewat cerita-cerita mereka adalah keasyikan tersendiri bagi kami anak-anaknya. Betapa diawal-awal pernikahannya ayah pernah tak sanggup memberi ibu uang belanja, sehingga ikan asin dan krecek (kerupuk mentah) the only menu yang mereka punya harus dibakar untuk dapat dimakan. Betapa mereka harus mengayuh sepeda onta-nya untuk sampai ke SD tempat mereka mengajar di sebuah desa di Jombang. Cerita-cerita masa muda yang penuh inspirasi selalu bisa kami dapatkan dari mereka.

Ibu, lahir dari keluarga kaya, tokoh dan oleh karenanya ia menjadi puteri ayu dari keluarga yang terhormat. Tidak seperti ayahku berasal dari keluarga petani. Miskin. Punya sapi dan beberapa petak kecil sawah tidak membuat derajat ayahku menaik dimata kedua nenek kakek dari ibu, itu ayah rasakan diawal-awal pernikahannya. Beruntung ayah lulusan pondok darul ulum Jombang, sedikit prestise aku rasa, tapi tetap saja miskin. Berbeda dengan pakde bude bulek dan paklek-ku yang jodohnya (kudengar2) adalah minimal anak tokoh lah. Ayah berbeda. Itulah yang membuatku berbangga. 
“Nasib” Ibu sebagai menantu juga ternyata tak terlalu mujur bagi ibu. Itulah yang ia ceritakan pada kami. Nenek dari ayahku tidak bisa terima mantu dari “muhammadiyah” (ayahku lahir dan besar dikalangan NU, walau selanjutnya ia malah jadi Majelis Tabligh Muhammadiyah Mojokerto ^_^). Dari mbah putri (begitu aku memanggil nenek dari ayah) selain sinisme “aliran”, ibuku terkena “sial” karena lahir sebagai anak orang kaya yang tidak punya keterampilan rumah tangga, masa kecilnya yang terbiasa dengan rewang (pembantu: jawa.red) semenjak kecil, memberi ibu pelajaran “tidak terampil masak” (ku pikir Cuma anak jaman sekarang saja yang begini ). Jadilah ibuku bulan2an mbah putri saat ayahku memboyong ibu ke kampung halamannya.

Beberapa waktu kemudian ibu hamil anak pertamanya, dan lahir... namanya alfi, tentu saja ia perempuan, karna namanya yang cantik itu. Ibu bercerita kala itu, alfi adalah anak yang sempurna. Cantik, mancung, berkulit kuning langsat macam ibuku, berambut ikal tebal juga macam ibuku, matanya indah lolak lolok macam ayahku, badannya seger sehat sekali. Namun nasib dan takdir tak dapat ditolak, alfi berumur 2 bulan jatuh sakit. Batuk2 tak henti2. Sudah diperiksakan dan diberi obat oleh dokter, sedih kedua ayah dan ibu nomer satu-ku sedikit terobati. Hingga suatu malam, alfi batuk2 tidak berhenti. Badannya menegang, ibu nomer satu-ku yang panik segera memberinya sirup dari dokter. Pikirannya simple saat itu, jika diberi lebih banyak obat mungkin akan cepat sembuh. Manalah ada hati seorang ibunda yang tega melihat anaknya sakit tak kunjung sembuh... seingat ibu saat itu ia beri satu sendok makan untuk alfi... setelah menangis selama 2 jam, ia terdiam. Mungkin tertidur, mungkin juga istirahat. Alfi seharusnya bangun, itulah harapan ayah dan ibu. Ibu membangunkan alfi, tapi naas, kontrak hidup dan takdir alfi memang hanya sampai umurnya yang dua bulan itu. Alfi yang cantik itu meninggal pada malam itu. Terpukul sekali ayah dan ibu nomer satu-ku. Pernahkah kau menjadi ibu? Atau punya ibu? Atau seseorang yang kau anggap ibu? Tahukah kau hancur leburnya hati ibu itu saat mengetahui anaknya telah tiada?. Yang lebih mengharukan lagi, kejadian terakhir yang seakan-akan menjadi “penyebab kematiannya”adalah tangannya yang sepenuh hati menyuapkan obat ke mulut mungil putrinya....

Apa yang ada dalam pikiran ibu saat itu adalah dunia tidak adil. Tidak pada dirinya, juga tidak pada putrinya. Putri pertamanya yang secantik rembulan, buah cintanya yang satu-satunya itu meninggal. Meninggal karenanya, dengan tangannya sendiri ia “membunuh” putrinya. Ibu nomer satu-ku pulang ke rumah ibunya. Hari-hari selanjutnya adalah kesedihan, kesepian dan rasa bersalah yang mendalam. Ibu nomer satu-ku depresi. Menurut cerita mbah tun (nenek dari ibuku) saat itu ibuku bahkan menggendong guling bayi dan me-nina-bobokan-nya layaknya itu adalah si cantk alfi. Bencana. Celaka.

Apa yang ayah nomer satu-ku lakukan? Ia adalah tipe pria pendiam yang sabar dan ulet. Istrinya yang cantik itu, yang ia baru kenal saat di kamar pengantin itu ia rawat dengan baik. Ia jaga, tak pernah ia cela. Tidak juga ia marahi. Ayah terus memotivasinya. Hingga ibu... “sembuh” . Ia kembali memiliki semangat hidup. Moving forward, dan dunia memang belum berakhir. Mereka toh masih muda, layak untuk mencoba kembali. Dan alhamdulillah lahirlah mas Kamil Amrullah yang kemudian menjadi “anak pertama”mereka, Anis Rohmatillah (aku) menyusul kemudian, dan terakhir Alfi Rohmatillah (nama alfi kembali dipakai). Sakit hati itu telah hilang. Kedua ayah dan ibu nomer satu-ku cintanya memenuhi rongga nafas kami.

Ibu adalah cinta ayah, dan oleh karenanya ia mnejadi pembela terdepan saat ayah terfitnah di kantornya, atau di sakiti oleh tetangga yang usli. Karena sifat dasar ayah yang pendiam, ia tidak mudah meluapkan emosi, lain halnya dengan ibu yang sangat “emosional” dan “berani”. Tanyalah kepala dinas atau walikota periode mana yang jika ia tidak adil tidak dapat surat kaleng (dari ibuku). Luar biasa kesetiaan dan pembelaan ibu kepada ayah, pria manis dan ulet yang baru ia kenal setelah ijab qobulnya itu.

Ayah tidak romantis sama sekali, tetapi kenyataannya sering juga membelikan ibu gelang emas atau asesoris perempuan lainnya. Walau seringkali gelang itu kembali tergadai untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga (dan ibu tidak pernah mengeluh, syukurlah ia tipe perempuan yang lebih suka roti sumbu _singkong rebus.red_ dari pada keju).

Oh ya aku lupa menceritakan bagian dimana kini keluarga ayah dan ibu-lah yang justru lebih sukses dari pada saudara2 yang lain. Hmmm... paling tidak sementara ini lebih sukses dari anak2 mbah tun yang lain lah. Aku tidak punya hak mencela keluarga pakde bude dan paklek bulek ku, tapi lihatlah, ingin kukatakan pada dunia, terimakasih atas celaan kalian, itula pecut bagi ayahku untuk maju dan meraih semuanya!. Momen pembagian warisanpun tidak merisaukan ibuku, karna ibu tau, dalam keluarga ini anak lelakilah yang spesial, tentu saja mendapat bagian (wasiat dan pemberian2) yang lebih banyak dari mbah tun. Ibu bilang, saat itu mbah berkata “bagianmu adalah ‘pekerjaan’ suamimu dan motor ulung (butut jaman dahulu yang sekarang sudah ga ada) dari ayahmu”, that’s all . Ibu tersenyum lega dan berkata dalam hati terimakasih bu. Dan tersenyum kembali saat teringat bahwa “nasib baik” sedang menimpa keluarga kecilnya di Mojokerto. Toh nyatanya warisan mbah kakung (dari ayah) juga lebih lumayan bisa dihitung: beberapa hektar sawah dan tanah rumah. Lumayan kan... (ternyata ayah adalah anak kesayangan mbah putri, karena ia yang paling rajin, yang paling pintar dan berbakti).

Kini usia mereka tak lagi muda. Ayah 51 dan ibu 52. Mereka berdua memang terpaut satu tahun. Tapi itu kembali tak jadi soal. Asalkan saling mencinta dan solat tepat waktu juga puasa sunnah dan tahajud tiap malam, sebuah keluarga pasti diliputi barokah. Itulah yang mereka ajarkan pada kami. Trimakasih ayah ibu.
Separuh abad usia ayahku, kami tak pernah menyangka ternyata selama ini ia mengidap kanker yang juga baru disadarinya. Kami semua bersedih, karna ternyata sudah masuk stadium lanjut. Tindakan medis semacam bedah juga sudah tidak memungkinkan karena ini jenis kanker yang langka. Kehidupan kami memang sangat cukup bahkan kadang berlebih, tapi tetap saja biaya berobat ke luar negeri tak sanggup kami penuhi. Adalah kami dengan berbagai macam terapi sekarang ini.

Tahun lalu, saat kami belum tahu ada kanker pada tubuh ayah, ayah dipanggil-Nya lagi ke rumah-Nya yang mulia. Tangis haru mengiringi kepergiannya yang kedua ke Makkah al mukaromah, karena saat itu pun sudah hitungan tahun ayah mengidap komplikasi penyakit gula dan kolesterol. Maka kami sungguh tak tega melepasnya pergi. Tetapi ia harus pergi, selain karena keinginannya, ia juga mengemban tugas sebagai pemimpin kelompok jamaah haji. Amazing, dua kali naik haji ayah tidak pernah membayar ... :D nikmat yang manakah yang kan kami ingkari...?.

Ada segmen menarik siang itu saat ibu bercerita tentang ayah selama aku di perantauan. Ia bercerita tentang salah satu do’a ayah. Do’a yang begitu menyentuh, yang meluruhkan persendianku, do’a yang tak pernah ku sangka. Do’a ini do’a tentang cintanya. Cintanya yang dalam terhadap istrinya. Anak2 adan cucunya tentu saja sudah masuk list do’anya, tapi yang ini berbeda. Aku saja sampai iri.

Ibu bilang “waktu ayah naik haji, ternyata ayah sempat berdo’a “matikanlah aku bersama istriku, ibu dari anak2ku””. Ayah curang. Mengapa berdo’a sepeti ini, seperti hendak meninggalkan kami cepat-cepat . Kanker ayah, dan sakit jantung ibu tentu saja mempengaruhi pemikiranku. Akankah... akankah dan banyak lagi akankah yang terngiang2 di benakku. Padahal aku belum pula mampu membalas budi keduanya.

Karena aku pun telah berjanji pada mereka, pada diriku sendiri, juga pada Allah, tak peduli seberat apa, masa tua ayah dan ibu adalah bersamaku. Semoga Allah mengabulkan pula pintaku, disamping pinta romantis ayah tadi.
Ayah.... ibu.... I ove you, hamesha and forever....

2 komentar:

  1. subhanallah..jadi haru. Ibu, I miss u. Bapak, mmm..jadi kangen pengen ngejar-ngejar yam sama bapak, kaya waktu kecil dulu pas mau lebaranan.

    BalasHapus
  2. albaribis, trimakasih telah meninggalkan komentar. kerinduan pada ayah bunda dan kenangan manis bersama mereka memang tak kan dapat terganti :). kalau ada waktu, pulanglah jika rindu, dan berbaktilah, agar kita tidak menyesal ketika yang tertinggal hanyalah baju mereka di lemari... :)

    BalasHapus