Rabu, 30 Maret 2011

Tentang anak2 (bukan kelucuannya, tapi nasib buruknya)


Sebuah renungan. Atas ketidakadilan dan nasib buruk anak bangsa karena punya pemimpin pandai bicara tapi tidak pandai bertanggung jawab dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang "pendiam". inilah ceritanya.

Tempo hari saya bertemu Rizki, dia pemulung, yang ternyata juga pengemis yang khas dengan baju jelek, kotor, compang camping dan korengan. Saya melihatnya malam itu memulung kardus di depan sebuah warnet, kemudian ketika saya berniat membelikannya roti dia sudah raib dari sana, Thingak thinguk saya cari2 dia ternyata sudah ngendon di depan depot soto yang terkenal di kota ini sambil menadahkan tangan dan menelan ludah beberapa kali. Terenyuh hati saya ingin menangis, tapi saya tahan, karena saya penasaran ingin mengetahui profil si Rizki. Saya tanya-tanya dia. Jawabannya dia Rizki telah berjalan hampir 20 KM tiap hari untuk mulung didaerah kampus, berumur sembilan tahun dan putus sekolah. Terlepas dari pendapat teman-teman yang mungkin pernah mendapati pengemis yang ternyata kaya, punya rumah dan tipi, tapi menurut saya ia si Rizki juga yang lainnya itu miskin, kalaupun tidak miskin benaran, mereka tetap miskin intelektual dan juga miskin mindset. Ini salah siapa? Siapa mau bertanggung jawab?

Tentang anak-anak, inilah yang membuat saya geregetan untuk segera menuliskannya. Masih tempo hari juga, saya mendapat undangan untuk hadir pada Konferensi Pekerja Anak: Advokasi Kebijakan untuk Mendukung Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) di Kabupaten Jember. Saya belum tahu akan membahas dan menghasilkan apa. Tetapi ini sekali lagi membuka mata saya lebih lebar juga membuat luka hati saya semakin menganga. Karena harus membaca realitas tentang keberadaan dan keadaan anak-anak di Indonesia dan di seluruh dunia.

Pernah saya mengikuti training pengkaderan yang diadakan oleh KPK, saat itu sesi perkenalan, semua peserta diminta untuk menggambar apapun yang dapat mendeskripsikan diri atau apapun yang sedang dipikirkan. Saya mulai menggambar bentuk-bentuk. Misalnya segitiga, maka saya menggambar kembali segitiga dengan ukuran lebih kecil didalam segitiga yang pertama, begitu pula lingkaran dan juga persegi. Maksud dari gambar itu adalah KEADILAN. Yang menjadi definisi keadilan adalah kebalikan dari definisi kedzaliman: meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ini artinya, seharusnya bangun segitiga itu ditempatkan pada bidang segitiga saja begitu pula dengan bangun yang lain.

Keadaan yang sedang terjadi di negara ini adalah kedzliman yang besar. Dalam training tersebut saya mengungkapkan kekesalan saya atas apa yang terjadi di negeri ini, terutama misalnya, anak-anak itu lemah, yang perlu dilindungi dan membutuhkan kasih sayang. Maka tempat mereka adalah rumah yang nyaman dengan kasih sayang penuh ayah dan bunda, bukan di lampu-lampu merah, bukan pula menggelar kardus-kardus kumuh di depan etalase-etalase toko, bukan pula menjadi pembantu rumah tangga, apalagi sampai ke luar negeri. Beberapa kasus malah mereka menjadi korban human traficking, yang “bernasib baik” akan dijadikan PRT (dengan sistem perbudakan tentu saja) dan yang bernasib buruk bisa jadi pelacur dan mungkin bahkan kehilangan nyawa. Inilah ketidakadilan itu.

“Masalah pekerja anak di Indonesia, sebenarnya merupakan persoalan klasik. Hanya saja jika pada tahun 1976 hanya 13,9% anak yang menjadi buruh, kini jumlah buruh anak bisa jadi sudah berkali--kali lipat yakni mencapai 80 juta orang, atau hampir 70% dari total penduduk.
Laporan yang disampaikan ILO dalam releasenya menyebutkan, sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan, praktek ijon, pelacuran pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak.

Menghenyakkan kita memang. Tapi yang lebih membuat geram, bahwa 3 juta dari 8,4 juta yang dilaporkan, ternyata adalah anak-anak Indonesia. Mereka terpaksa bekerja dan tak jarang harus melakukan pekerjaan yang membahayakan perkembangan mental fisik dan emosionalnya. Mayoritas dari mereka, bekerja di sektor pertanian yang tidak bebas dari penggunaan bahan kimia dan peralatan berbahaya atau di jermal-jermal yang tingkat bahayanya tidak saja bersifat fisik dan biologis. Sementara lainnya memilih menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga, pekerja seks dan pekerja pabrik.

Hasil laporan Badan Pusat Statistik terhadap survey pekerja anak di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006. Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari kaum perempuan yakni 1.734.126 orang dengan laki-laki 130.948 orang.” (dikutip dari www.indosiar.com).

Ini baru data yang “terdata” bagaimana jika ternyata jumlahnya lebih besar dari itu?. Pertanyaan ini tidak akan terjawab tentu saja (Di negara ini menghitung jumlah penduduknya saja tidak pernah valid). Lalu mana tanggung jawab? Dan siapa yang harusnya bertanggung jawab?. Berteriak kepada pemerintah hari-hari ini sudah sama dengan kau berada pada kapal yang karam, sendirian ditengah badai di lautan. Yang hanya bisa mendengar adalah Tuhan saja.

Mengeluhkan kepemimpinan mereka juga seakan menjadi rutinitas kita sebagai “orang biasa” yang tidak terlibat politik praktis apalagi duduk dalam posisi pengambil kebijakan, yang artinya adalah: cukuplah keluhan itu menjadi kambing hitam atas “ketidakmampuan” (atau mari kita jujur menyebutnya “ketidakmauan” bahkan “ketidakpedulian”) kita untuk berkontribusi. Sebagai muslim (yang sedang dan terus berusaha) produktif saya berucap na’udzubillah. Hanya kepedulian dan kerja nyata kitalah yang dapat membebaskan “anak-anak” kita dari cengkeraman ketidakadilan itu. Sekecil apapun, sesedikit apapun, mari perduli, bahkan pada apapun yang sepertinya jauh dari jangkauan kita (baca: isu pekerja anak ini).

Dalam suatu forum diskusi saya mendapat pelajaran dari seorang panelis yang mengutip Cofusius: “ketika kita ingin hidup selama setahun kedepan, tanamlah benih. Jika kita ingin hidup 5 tahun kedepan, tanamlah pohon, jika ingin hidup 50 tahun kedepan, tanamlah SDM”. Rizki dan anak-anak lainnya berhak menikmati masa kecilnya juga, masa yang adil untuk mereka, masa yang menentukan hendak jadi manusia macam apa mereka nanti. 50 tahun ke depan, generasi merekalah pemegang tampuk kepemimpinan. Semoga konferensi esok hari menghasilkan SESUATU untuk mereka. Agar tidak lagi muncul si budi kecil-nya Iwan Fals, atau si alif kecil-nya Snada, juga si Rizki kecil-nya anees.

Dalam kegalauan atas nasib anak bangsa. dan anak2ku kelak.

Love u Rizki kecil....

2 komentar: